Dinasti Dinda Merajalela, Orang Bima Dianggap Bermental Budak
Budayawan Asal Bima, Muslimin Hamzah dikenal Obima. Dok. Obima
/Dinda cukup cerdas, memanfaatkan kondisi batin publik yang terperangkap feodalisme kerajaan
MATARAM, SIARPOST | Budayawan asal Kabupaten Bima, Muslimin Hamzah menulis sebuah catatan di dalam statusnya di media sosial yang menganggap masyarakat Bima mempunyai mental budak dan loyal tanpa batas kepada seorang pemimpin. Bahkan hal itu ia anggap sebagai penyakit di era demokrasi seperti saat ini.
Dalam sebuah tulisan yang diupload di akun media sosialnya, Senin (16/9/2024), Muslimin mengatakan orang Bima terlalu lebay, seorang pemimpin dianggap sebagai dewa masa kini.
“Orang Bima itu lebay, enggak bisa lihat pejabat apalagi Bupati. Jabatan Bupati itu dianggap seperti dewa, bukan hanya tangan dicium, kakinya pun ingin dijilat saking hormatnya mereka,” Tulis wartawan senior yang akrab disapa Obima itu.
BACA JUGA : Penampakan Mini Bus Plat Merah Milik Pemkab Bima Diduga Bawa Rombongan Dukung Deklarasi Iqbal-Dinda
Bahkan Obima mengatakan, Dinda tahu aspek dekade ini dan mengelolanya dengan jitu dan penuh perhitungan.
Lihat saja realitasnya, Ummi Dinda mulai dengan jurus politik ketergantungan membuat para pejabat sekelas kepala dinas ketergantungan padanya.
Ketua BPD Kiantar KSB Enggan Berikan Klarifikasi Atas Dugaan Rekayasa Dokumen Hibah Lahan Warga
“Orang Bima yang mendewakan jabatan takut jabatannya hilang. Dinda hafal mati itu,” Kata Obima yang ditemui langsung media ini di Mataram, Minggu.
Timbulnya loyalitas tanpa batas dengan bekal ketergantungan dan rasa takut itu, membuat para pejabat dapat diperintah apapun tetap dilaksanakan.
“Kalau tidak ikut perintah, jabatan lenyap,” ujar Obima tersenyum.
Penyakit seperti inilah, kata Obima yang menjadi wabah di ASN, utamanya yang punya jabatan sekelas kepala bidang, kepala seksi, kepala sekolah dan jabatan lainnya.
Obima menganggap ini adalah mental jongos alias budak yang tetap akan abadi di dalam batin orang Bima yang mendewakan pemimpin sebagai raja yang berkuasa, padahal hal semacam ini bisa hilang seperti di Lombok, Dompu dan Sumbawa.
BACA JUGA : Kadis dan Semua Kades di Bima Ternyata Diinstruksikan Ikut Deklarasi Iqbal-Dinda, Harus Setor Muka
Obima juga menganggap orang Bima tidak open minded atau tidak terbuka pikirannya, padahal orang Bima yang terpelajar, dosen, guru, ASN, dan mahasiswa sejak dulu sangat menghormati keluarga raja.
“Dalam tulisan saya bahwa mereka itu bukan raja atau keturunan raja tetapi bekas raja dan bekas keturunan raja,” Kata Obima.
Inilah akibat mental budak, tidak mau membuka pikirannya. Apalagi ketika Almarhum Dae Feri dilantik jadi raja, semua merasa senang.
Begitu pun ketika putra Almarhum Dae Feri yakni Feriyandi dilantik jadi Janateke, tidak juga dikoreksi apalagi dilarang. Majelis adat yang diduga merupakan orang-orang dalam lingkaran itu senang saja padahal hal itu melanggar UU.
“Dalam UU Negara Indonesia Timur No. 44 kerajaan Bima berubah status menjadi daerah swapraja pada tanggal 2 Oktober 1950. Namanya sudah bubar maka seluruh hal Ikhwal mengenai raja dan kerajaan telah lenyap seperti raja, jenateke kerajaan atau bangsawan,” kata Obima.
Parahnya lagi, kata Obima, jabatan publik jenateke dipakai untuk kepentingan pribadi demi mendongkrak popularitas seorang yang tampil sebagai calon Bupati Bima.
BACA JUGA : Hadiah Mobil Jalan Sehat Iqbal-Dinda Dibatalkan Panitia, Netizen : Belum Jadi Gubernur Sudah Nipu Masyarakat
“Ironisnya lembaga adat serta Akademisi diam saja,” katanya.
Dinda cukup cerdas, memanfaatkan kondisi batin publik yang terperangkap feodalisme semu ini diolah dengan mengkomodifikasi jabatan-jabatan kuno seperti raja dan jenateke.
Feodalisme istana masa lalu yang menciptakan image ini, misalnya menganggap bangsawan (ASN) adalah ningrat, berdarah biru, kelas satu, ada pun yang bukan itu adalah kelas dua, berdarah merah dan kampungan.
“Cara mengubah mental itu, hal yang efektif ya merebut kekuasaan dan singkirkan Dinasti,” tandas Obima. (Obima/Feryal).