SIARPOST.com | Banyak yang menyoroti terkait ukuran pintu dan kereta LRT Jabodebek yang dikeluhkan terlalu pendek. Alasan dari PT. KAI dan Kemenhub, pintu tersebut didesain untuk rata-rata tinggi badan orang Indonesia 160 cm.
FPKS mempertanyakan dasar perhitungan rata-rata tinggi badan 160 cm tersebut. Data tersebut adalah dari penelitian yang dilakukan 9 tahun yang lalu.
Berdasarkan studi yang dibuat Association of Southeast Asian Nations DNA pada 2014, pria di Indonesia memiliki tinggi badan rata-rata 160 cm. Sedangkan untuk wanita Indonesia, memiliki rata-rata tinggi badan 147 cm.
Baca : Imigrasi Sumbawa dan Pemda KSB Gelar Rakor Sikapi Persoalan Tenaga Kerja Asing di PT AMMAN
Padahal jika mengacu pada data terbaru World Data, laki-laki di Indonesia memiliki tinggi badan rata-rata 166 cm. Sementara untuk wanita, memiliki rata-rata tinggi badan 154 cm.
Data ini didasarkan pada ringkasan studi ilmiah yang dievaluasi dan diterbitkan oleh NCD Risk Factor Collaboration (NCD-RisC). Data diambil dari 1.200 penelitian yang dirangkum dari analisis pada tahun 2020. Juga merangkum lebih dari 2.100 penelitian dari tahun 1985 hingga 2019 dan dapat ditemukan di jurnal medis The Lancet.
Anggota DPR RI, Suryadi Jaya Purnama menyesalkan PT.INKA sebagai pembuat kereta ataupun PT.KAI sebagai operator yang tidak mengadakan studi tersendiri untuk benar-benar memastikan hal tersebut, sehingga menyebabkan pembuatan pintu kereta yang terlalu pendek
Suryadi Jaya Purnama juga mengatakan, kesalahan tersebut juga disebabkan karena tidak adanya peran pemerintah dalam hal ini Kemenhub yang seharusnya menyediakan standard perkeretaapian.
“Oleh sebab itu kita meminta agar Kemenhub membuat kajian sendiri tentang data antropometri, yaitu ilmu tentang pengukuran tubuh manusia, digunakan untuk pembuatan desain furnitur yang ergonomis, klasifikasi dan perbandingan antropologis, dan sebagainya,” ujar Suryadi yang akrab disapa SJP.
Baca juga : Ralat Gempa di Tanah Bumbu Kalsel, BMKG Pastikan Gempa Semalam 7,1 Magnitudo Berpusat di Lombok
Data antropometri orang Indonesia nantinya bermanfaat bukan hanya untuk pintu kereta, tapi juga tempat duduk, dan lainnya. Bukan hanya untuk perkeretaapian, tapi juga bermanfaat untuk moda yang lainnya sebagai produk dari Indonesia untuk Indonesia.
Selain itu terdapat beberapa keluhan lain terkait jarak antarkereta (headway) tiba di stasiun yang sporadis dan informasi tujuan kereta yang tidak jelas.
Di dalam kereta pun, pemberitahuan melalui suara ataupun tertulis lewat panel di dalam gerbong tidak tersedia. Pengereman yang masih kasar saat berhenti di stasiun kemungkinan agar kereta berhenti tepat di titik pintu kaca pada peron stasiun.
Masalah ketidaksejajaran antara pintu kereta dan pintu pembatas di stasiun (platform screen doors/PSD) ini diduga berkaitan dengan perkara integrasi persinyalan dan sistem grade of automation 3 (GoA 3) yang belum mulus. Sistem inilah yang memungkinkan LRT Jabodebek dioperasikan tanpa masinis.
“Kami juga mempertanyakan dasar kajian sehingga stasiun LRT didesain tanpa tempat parkir. Seharusnya, LRT sebagai transportasi publik dapat mengurangi masyarakat menggunakan kendaraan pribadi,” kata SJP.
Ia menambahkan masyarakat memarkirkan kendaraan pribadi untuk kemudian menggunakan LRT. Sangat aneh jika malah masyarakat harus parkir di tempat yang jauh dan berjalan kaki ke stasiun LRT sehingga mengurangi kenyamanan mereka.
“Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi apabila terdapat adanya standardisasi yang baik dan perencanaan yang matang,” ujarnya lagi.
Baca juga : SISPALA SMAN 1 Taliwang Ikut Lintas Alam, Bersihkan Sampah Hingga Bukit Lamusung 600 MDPL
Oleh sebab itu kita meminta kepada Kemenhub agar lebih serius mengembangkan standardisasi desain perkeretaapian. Dengan standar yang baik, Kemenhub tidak akan terlalu bergantung pada jasa konsultan proyek, baik domestik maupun asing.
Hal ini akan sangat bermanfaat dalam membantu perencanaan proyek perkeretaapian, sehingga terhindar dari kesalahan-kesalahan serupa di masa yang akan datang.