Cagub NTB, Lalu Muhammad Iqbal. Dok istimewa
MATARAM, SIARPOST | Di tengah hangatnya persiapan Pilgub NTB 2024, calon gubernur Lalu Muhammad Iqbal memanfaatkan politik identitas sebagai senjata utamanya.
Kampanye yang berfokus pada kesukuan Sasak membuat Iqbal dan timnya mengklaim bahwa hanya orang bersuku Sasak yang paling cocok memimpin NTB.
Ketua Tim Pemenangan Iqbal, Mamik Ngoh, bahkan mengatakan bahwa Iqbal adalah harga diri orang Sasak dan sangat disayangkan jika ia tidak dipilih.
BACA JUGA : Gelar Unjuk Rasa di Jakarta, Mahasiswa NTB Tuntut KPK Tangani Dugaan Korupsi Cawagub NTB Dinda
“Dr Lalu Muhammad Iqbal tak sekedar calon pemimpin yang ideal bagi NTB, tapi lebih khusus lagi: Iqbal merupakan harga diri orang Sasak. Rugi kalau tidak memintanya pulang pengurus NTB,” kata Ketua Tim Pemenangan Iqbal, Mamik Ngoh.
Namun, langkah Iqbal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah politik identitas benar-benar pantas menjadi landasan utama dalam memilih pemimpin? Sejarah dan realitas politik menunjukkan bahwa identitas kesukuan, agama, atau etnis sering kali dijadikan alat untuk menggalang dukungan, tetapi dalam konteks demokrasi yang sehat, prestasi dan kebijakanlah yang seharusnya menjadi fokus utama.
Menurut artikel Kemala Chandakirana yang mengutip pemikiran Geertz, politik identitas sering kali digunakan untuk menciptakan dikotomi antara “kami” (orang asli) dan “mereka” (pendatang). Isu ini kerap disebarkan melalui propaganda dan komunikasi politik yang lihai, menggugah emosi masyarakat, dan menciptakan perpecahan yang membahayakan demokrasi.
BACA JUGA : MotoGP 2024 Mandalika : Bang Zul Ajak Masyarakat NTB Buktikan Keramahan Indonesia di Mata Dunia
Politik Identitas: Ancaman Demokrasi
Politik identitas membawa dua ancaman utama bagi demokrasi. Pertama, ia menggeser fokus dari rasionalitas publik dan kesetaraan, yang seharusnya menjadi dasar demokrasi, ke arah ikatan emosional dan primordial seperti kesukuan dan agama. Ketika pemilih lebih mengutamakan ikatan emosional daripada kualitas dan kredibilitas calon, demokrasi menjadi lemah.
Kedua, politik identitas dapat mendorong masyarakat menuju segregasi sosial, di mana persatuan bangsa terancam oleh kepentingan kelompok tertentu. Ini menjadi ancaman nyata bagi Indonesia yang plural dan beragam. Dalam konteks ini, kohesivitas sosial menjadi syarat penting agar demokrasi tetap kuat dan substansial.
Pemilihan pemimpin seharusnya berdasarkan rekam jejak, visi, dan kemampuan calon, bukan pada kesamaan etnis atau identitas kesukuan. Politik identitas hanya akan menciptakan perpecahan, mengancam persatuan, dan mengabaikan esensi demokrasi itu sendiri. (***)