Nursyamsiah, SH, salah satu kuasa hukum korban foto dj depan gedung ditKrimum Polda NTB beberapa waktu lalu. Dok istimewa
Mataram, SIAR POST – Setelah melalui proses panjang yang penuh kehati-hatian, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) akhirnya menetapkan dan menahan seorang dosen berinisial LRR sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual sesama jenis.
Penahanan dilakukan pada Senin (21/4) dan menjadi sorotan luas, mengingat pelaku dikenal sebagai dosen aktif di sejumlah perguruan tinggi di NTB.
BACA JUGA : Catatan Kritis DPRD terhadap RPJMD Lombok Utara 2025–2029: Soroti Indikator Kosong dan Pembiayaan Budaya
Langkah ini diapresiasi oleh berbagai pihak, termasuk tim kuasa hukum korban yang selama ini mengawal kasus tersebut.
Salah satunya, Nursyamsiah, SH, menyatakan bahwa penetapan tersangka dan penahanan LRR merupakan langkah penting dalam penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual.
“Sebagai bagian dari tim kuasa hukum korban, saya mengucapkan terima kasih kepada pihak kepolisian, khususnya Polda NTB, yang telah menangani kasus ini secara profesional dan penuh kehati-hatian. Ini adalah progres penting yang menunjukkan bahwa hukum bisa berpihak kepada korban,” ujarnya, Selasa (22/4).
Menurutnya, kasus ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga menyangkut moral dan integritas seorang pendidik.
“Kita bicara soal orang yang seharusnya menjadi panutan, menjadi guru. Ketika dia justru terlibat dalam perilaku yang mencederai kepercayaan mahasiswa, maka ini harus ditangani dengan sangat serius. Tidak boleh ada kompromi,” tegas Nursyamsiah.
Bukti Kuat, Ahli Dilibatkan
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB, Kombes Pol. Syarif Hidayat, menjelaskan bahwa penahanan dilakukan setelah penyidik mendapatkan sedikitnya dua alat bukti yang sah.
Bukti-bukti tersebut diperoleh dari hasil pemeriksaan saksi-saksi, serta kajian dari para ahli hukum pidana, psikologi forensik, dan ahli bahasa.
“Tersangka LRR ditahan di Rutan Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dittahti) Polda NTB. Proses ini sudah melewati tahapan gelar perkara, dan penyidik menyimpulkan adanya cukup bukti untuk menetapkan status tersangka,” ujarnya kepada media.
Kasus ini menjadi semakin terang setelah Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB menghimpun kesaksian dari para korban. Total ada 12 orang korban, yang sebagian besar merupakan mahasiswa dari berbagai kampus tempat LRR pernah mengajar.
Kampus Ambil Sikap Tegas
Menyusul terungkapnya kasus ini, pihak kampus dikabarkan telah mengambil sikap tegas. LRR diberhentikan dari seluruh aktivitas akademik dan tidak lagi memiliki akses terhadap lingkungan kampus.
Tindakan ini dinilai sebagai bentuk komitmen institusi pendidikan dalam menciptakan ruang aman bagi mahasiswa.
KSKS NTB dalam pernyataan tertulisnya menyebut bahwa penanganan kasus ini menjadi preseden penting.
“Kami mendorong agar ke depan, semua laporan kekerasan seksual diproses secara cepat dan berpihak pada korban. Kampus juga harus menjadi ruang yang aman, bukan tempat yang membungkam suara mahasiswa,” tulis mereka.
Harapan untuk Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban
Lebih jauh, Nursyamsiah berharap agar kasus ini tidak berhenti hanya pada proses hukum semata. Ia meminta agar pemerintah dan lembaga pendidikan lebih serius dalam membangun sistem perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
“Korban harus dipulihkan secara menyeluruh, bukan hanya secara hukum tetapi juga secara psikologis. Dan pelaku harus diberi sanksi tegas agar menjadi efek jera. Jangan sampai kasus seperti ini kembali terulang hanya karena kita abai.”
Kasus LRR ini membuka mata publik bahwa kekerasan seksual tidak mengenal batas institusi, status sosial, atau jabatan. Justru sering kali pelaku berada dalam posisi kuasa, sementara korban merasa takut, malu, atau bahkan tidak percaya akan mendapat keadilan.
Kini, publik menunggu kelanjutan proses hukum terhadap LRR. Harapannya, kasus ini menjadi momentum untuk membenahi sistem pelaporan dan penanganan kekerasan seksual, khususnya di lingkungan akademik.
Pewarta : Ridho
Redaktur : Feryal