Lombok Barat | SiarPost – Anggaran perjalanan dinas di Kabupaten Lombok Barat kembali menuai sorotan. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas LKPD 2024, tercatat realisasi biaya taksi di 11 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mencapai Rp283.426.969, namun ironisnya tidak satupun dibuktikan dengan dokumen pertanggungjawaban biaya riil (at cost).
Modusnya? Semua biaya ditagihkan menggunakan metode lumpsum, yakni pembayaran uang sekaligus tanpa rincian biaya faktual.
Padahal, sesuai aturan terbaru, komponen biaya transportasi—termasuk taksi—harus disertai bukti pembayaran yang sah sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik.
BACA JUGA : Kado HUT PLN NTB ke-23, PLN Nyalakan Delapan Sekolah Terpencil di Sumbawa lewat Program PLTS SUPER SUN
Pejabat di Sekretariat Daerah misalnya, tercatat menghabiskan Rp141,9 juta hanya untuk taksi, disusul Sekretariat DPRD dengan Rp37,3 juta, dan Dinas Pendapatan Daerah sebesar Rp36,2 juta.
Namun tak satu pun perjalanan mereka dibuktikan dengan kuitansi taksi atau bukti sewa kendaraan dari dan ke bandara.
Dalam dokumen BPK dijelaskan bahwa praktik ini tidak sesuai ketentuan hukum, melanggar:
PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
Perpres No. 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional,
Permenkeu No. 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas,
serta Perbup Lombok Barat No. 54 Tahun 2024.
BACA JUGA : Merajalela! Galian C Ilegal di KSB Dibongkar: Ini Rincian Lokasi, dan Bungkamnya Aparat Serta Asosiasi
BPK menilai ada potensi penyalahgunaan anggaran, karena dokumen pertanggungjawaban fiktif rawan terjadi di balik metode lumpsum yang longgar dan sulit diverifikasi.
“Biaya taksi ini dibayar tanpa bukti perjalanan riil, sehingga tidak sesuai prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas. Hal ini juga bisa dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu,” tulis BPK dalam laporannya.
Lebih lanjut, BPK meminta Bupati Lombok Barat segera menindaklanjuti temuan ini dan melakukan verifikasi ulang atas seluruh dokumen perjalanan dinas 2024.
Menanggapi hal tersebut, Bupati Lombok Barat menyatakan sependapat dengan temuan BPK dan berjanji menindaklanjuti sesuai rekomendasi.
Namun publik kini menunggu langkah konkret, sebab skema lumpsum yang digunakan sejak awal rawan menjadi celah praktik curang, dan praktik pembiaran selama bertahun-tahun hanya akan memperburuk citra birokrasi.
Apakah dana rakyat ini akan kembali? Atau hanya menjadi ‘uang jalan’ yang raib tanpa arah tujuan?