Sumbawa, SIAR POST – Sidang perdana gugatan class action yang diajukan ratusan petani Desa Kareke terhadap Pemerintah Daerah Sumbawa, Kementerian Pertahanan, dan pihak lainnya, resmi digelar di Pengadilan Negeri Sumbawa pada Selasa, (8/7/2025).
Persidangan tersebut menjadi perhatian luas, karena menyangkut lahan garapan seluas 130 hektar yang selama lebih dari dua dekade menjadi sumber penghidupan petani.
Usai persidangan, Imam Wahyudin, SH, kuasa hukum petani dari Kantor Hukum Imam Wahyudin & Rekan, memberikan penjelasan terkait jalannya sidang dan substansi perkara yang diajukan.
BACA JUGA : Aktivis Diduga Dianiaya Saat Aksi Damai di Poto Tano, Presidium PPS Lapor ke Propam Polda NTB
“Sidang hari ini baru pada tahap pemeriksaan berkas perkara, termasuk legal standing para pihak, surat kuasa hukum, dan keabsahan gugatan,” jelas Imam kepada media ini di halaman PN Sumbawa, Selasa.
Namun, sidang belum bisa dilanjutkan ke pokok perkara karena sebagian pihak tergugat, termasuk perwakilan dari Kementerian Pertahanan RI, Kementerian Pertanian RI, dan Kodim Sumbawa, tidak hadir dalam sidang perdana tersebut.
“Sidang ditunda sampai pemanggilan ulang pada tanggal 22 Juli 2025. Tapi proses hukum tetap berjalan. Kalau para pihak yang dipanggil tidak hadir, maka pemeriksaan tetap dilanjutkan sesuai hukum acara yang berlaku,” tegas Imam.
Petani Memenuhi Pengadilan, Nasib Mereka Taruhannya
Menariknya, sidang ini dihadiri lebih dari ratusan petani yang datang secara mandiri untuk mengikuti jalannya proses hukum yang mereka harapkan bisa memberikan keadilan atas lahan yang kini dipakai untuk proyek pembangunan Batalyon.
BACA JUGA : DOB Provinsi Pulau Sumbawa Jadi Skala Prioritas, Presidium PPS Siapkan Hearing Strategis ke Komisi II DPR RI
“Kami melihat langsung, para petani ini menggantungkan harapan besar pada pengadilan. Di mana lagi mereka cari keadilan kalau bukan di sini?” ujar Imam.
Lebih dari sekadar gugatan hukum, menurut Imam, perkara ini adalah soal hak hidup yang layak, sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Selama 20 tahun lebih, para petani membangun kehidupan dari lahan tersebut — dari menyekolahkan anak, membangun rumah, hingga menciptakan ekonomi lokal berbasis agraria.
“Banyak dari mereka yang dulunya hanya mampu menyekolahkan anak sampai SMP, sekarang sudah punya anak yang jadi sarjana. Lahan itu bukan sekadar tanah, tapi masa depan,” tambahnya.
Upaya Damai Masih Terbuka, Tapi Negara Jangan Arogan
Meski sidang tetap berjalan, kuasa hukum menyatakan pihaknya juga membuka ruang untuk solusi damai, di luar pengadilan.
“Kami akan terus mencari solusi terbaik, termasuk kemungkinan rekonsiliasi, asal hak-hak petani tetap dihormati. Negara jangan arogan. Proyek tidak boleh melindas rakyat,” kata Imam.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa, petani dan tentara punya sejarah panjang berjalan bersama.
“Dulu tentara berperang, petani yang memberi makan. Bahkan senjata dititipkan di rumah-rumah petani. Sekarang masa petani dikorbankan demi proyek?” ucapnya lirih.
Gugatan dengan nomor perkara 44/Pdt.G/2025/PN Sbw dilayangkan dengan tuntutan antara lain:
Menghentikan sementara pembangunan Batalyon di atas lahan yang disengketakan;
Menyediakan lokasi alternatif pembangunan;
Memberikan perlindungan sosial dan hukum bagi petani terdampak;
Menegaskan bahwa negara wajib tunduk pada prosedur hukum dan prinsip keadilan agraria.
BACA JUGA : GERAM Laporkan Dugaan Pelanggaran Tata Tertib DPRD Dalam Pembahasan RPJMD 2025–2029 ke Badan Kehormatan