Jakarta, SIAR POST – Proses divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang kemudian beralih ke PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) kembali menjadi sorotan tajam. Setelah beberapa saat hilang, kini Aliansi Front Pemuda Taliwang (FPT) bersama Forum Dinamika Jakarta (FDJ) kembali mengungkapkan kejanggalan besar dalam aliran dana divestasi, yang diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp780 miliar.
Koordinator FPT–FDJ, Muhammad Sahril Amin, bahkan menegaskan pihaknya siap menempuh jalur praperadilan jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak segera mengusut kasus ini.
BACA JUGA : Logikanya Aneh Kematian VR di Nipah, Dipukul dari Belakang Hingga Babak Belur Kok Jadi Tersangka?
“Kami meminta sprindik dua kasus dibuka kembali oleh KPK, pertama soal dugaan gratifikasi proyek infrastruktur senilai Rp60 miliar di Sumbawa Barat, kedua terkait hilangnya hak daerah dalam divestasi saham PT NNT. Jika didiamkan, kami siap praperadilan,” tegas Sahril di Jakarta, Senin (22/9/2025).
Media ini pun berkali-kali menghubungi Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo. Beberapa waktu lalu Budi sempat menjawab pertanyaan terkait kunjungan KPK ke Sumbawa Barat dalam melakukan Koordinasi supervisi.
“Terkait kegiatan koordinasi supervisi. Dimana KPK intens melakukan pendampingan dan pengawasan kepada pemerintah daerah dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Namun saat ditanya soalny proses divestasi saham PT AMNT yang telah dilaporkan kembali oleh FPT dan FDJ, Budi enggan berkomentar dan hanya membaca saja pertanyaan tersebut tanpa memberikan jawaban.
Berawal pada 2009, sebanyak 24 persen saham PT NNT dijual ke PT Multi Daerah Bersaing (MDB) dengan nilai mencapai US$400 juta atau sekitar Rp5,2 triliun. Dari angka itu, seharusnya Pemerintah Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa Barat mendapat porsi US$100 juta (Rp1,3 triliun).
Namun yang benar-benar masuk ke kas daerah hanya US$40 juta (Rp520 miliar). Sisa US$60 juta (Rp780 miliar) justru diklaim untuk membayar utang PT Multi Capital, perusahaan swasta rekanan MDB.
“Pertanyaannya sederhana: kenapa utang perusahaan swasta dibayar dengan uang yang seharusnya menjadi hak rakyat NTB?” sindir Sahril.
BACA JUGA : Usai Penemuan Ulat di Makanan Program MBG, Siswa SMP di Sumbawa Keluhkan Rasa Hambar
Dugaan Gratifikasi dan Jejak Transfer Mencurigakan
Kasus ini bukan sekadar soal utang-piutang. Pada 2018, KPK sempat melakukan penyelidikan awal dan menemukan aliran dana Rp1,15 miliar ke rekening pribadi mantan Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi. Dana itu disebut berasal dari pengusaha Rosan Roeslani.
TGB saat itu membantah tuduhan gratifikasi, menyebut dana tersebut hanya pinjaman pribadi untuk pembangunan pesantren. Namun hingga kini, publik tidak pernah melihat bukti pelunasan pinjaman tersebut.
Sahril juga mengungkap bahwa 37 nama pejabat masuk dalam daftar penyidikan KPK pada 2018, termasuk pejabat tinggi Pemprov NTB dan Bupati Sumbawa Barat. Anehnya, tidak ada satupun yang ditetapkan sebagai tersangka karena sprindik penyidikan dihentikan.
Dugaan intervensi semakin kuat setelah beredar dokumentasi pertemuan antara Firli Bahuri, kala itu Deputi Penindakan KPK, dengan TGB di NTB. Keduanya terekam hadir dalam sejumlah acara seperti pertandingan tenis Danrem 162/WB hingga Harlah GP Ansor ke-84.
Padahal, Firli hadir di NTB tanpa izin resmi dari pimpinan KPK. Peristiwa itu kemudian terbukti sebagai pelanggaran etik berat, dan Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi kepada Firli.
BACA JUGA : NTPW Bongkar Dugaan Permainan Kursi Plt BPBJ NTB: Surat Mundur Gak Sampai ke BKD!