Nama Dayan Gunung di Alun-alun KLU Dipersoalkan, Dewan Kebudayaan Tegaskan Itu Jati Diri Leluhur

Lombok Utara, SIARPOST — Polemik penamaan Dayan Gunung pada Alun-alun Kabupaten Lombok Utara (KLU) terus bergulir. Di tengah munculnya penolakan dan wacana pergantian nama, Ketua Dewan Kebudayaan Lombok Utara, Kamardi, menegaskan bahwa Dayan Gunung bukan sekadar nama, melainkan identitas kultural yang telah hidup berabad-abad dalam peradaban masyarakat Sasak.

Menurut Kamardi, Dayan Gunung adalah sebutan yang lahir jauh sebelum Lombok Utara terbentuk secara administratif pada tahun 2008. “Secara historis, masyarakat Sasak sejak dulu mengenal wilayah ini sebagai Paer Dayan Gunung, bukan Lombok Utara. Nama ini sudah ada sejak leluhur kita,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dalam konsep kebudayaan Sasak dikenal pembagian wilayah adat atau tritoti: Paer Timuk, Paer Tengak, dan Paer Bat. Dalam konstruksi itulah Dayan Gunung hadir sebagai identitas wilayah pegunungan yang membentuk karakter sosial, spiritual, dan budaya masyarakatnya. “Dayan Gunung bukan sekadar penunjuk arah mata angin. Ia memiliki filosofi tinggi yang sedang terus dikaji,” tegasnya.

Kamardi menolak anggapan bahwa Dayan Gunung hanyalah sebutan dari masyarakat wilayah bawah (teben) atau kota. Justru, kata dia, Dayan Gunung mencerminkan karakter budaya pegunungan yang kuat, berbeda dengan budaya perkotaan. “Budaya kita adalah budaya pegunungan, dengan pusat spiritual yang kuat, terutama di Bayan. Dari situlah Dayan Gunung lahir,” jelasnya.

Ia juga menyinggung rencana kajian yang mengaitkan nama Dayan Gunung dengan ritual-ritual adat di Bayan. Kajian tersebut, menurutnya, akan membuka benang merah antara nama, sejarah, dan praktik budaya yang masih hidup hingga kini.

Menanggapi adanya pernyataan dari sebagian anggota dewan yang tidak setuju dengan penggunaan nama Dayan Gunung, Kamardi mengingatkan agar sikap tersebut tidak diambil secara serampangan. “Tidak bisa asal tidak setuju lalu mau mengganti nama. Sejarah harus dipelajari, dipahami. Dayan Gunung bukan karangan, bukan pemberian negara, tapi lahir dari peradaban Sasak,” katanya.

Ia menilai, justru nama Dayan Gununglah yang membentuk karakter masyarakat Lombok Utara. Bahkan dalam pengalaman sosial sehari-hari, identitas itu telah lama melekat. “Dulu sekolah di Mataram, kita sering ditanya ‘side kanak Daye ne?’ Itu bukan sekadar lokasi, tapi penanda karakter dan asal budaya,” ungkapnya.

Saat ini, Dewan Kebudayaan Lombok Utara, lanjut Kamardi, tengah gencar menggali kembali jati diri dan karakter masyarakat Dayan Gunung melalui berbagai kajian dan event budaya, salah satunya Genuk Rasa Siwate Sopok Angen, yang menjadi ruang interaksi budaya antara pemerintah dan masyarakat.

Ia pun mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh polemik yang berkembang. “Lihat prosesnya dengan jernih. Kalau di perjalanan ada problematika, itu wajar. Tapi saat ini, nama Dayan Gunung juga menjadi wahana penyadaran bahwa inilah jati diri kita,” pungkasnya.(Niss)

Exit mobile version