UMKM, Pasar dan Peran Pemerintah

Oleh Kang Soe

Jika ada UMKM kesulitan permodalan, itu klasik, namun fakta. Metodologi pembiayaan UMKM nampak menjadi prioritas pemerintah lewat bank dan lembaga non bank. Dus, kucuran dana hibah.

Woww.. Nampaknya itu sudah bukan barang baru di skala pemerintah sejah dahulu kala. Upaya itu seolah menjadi andalan dalam mengangkat UMKM. Keperpihakan pada umkm jadi isu politik yang seksi. Anggaran APBN bahkan jadi jargon keperpihakan pada UMKM, padahal itu semua omong kosong.

Penulis tidak ingin katakan bahwa itu salah. Namun, jelas persoalan UMKM bukan hanya persoalan modal. Dan, jika itu persoalanya apa? Managemen, pasar, peningkatan mutu produk, atau juga soal SDM?? Hampir semua yg disebut sudah dilakukan upaya oleh pemerintah, lewat pelatihan, kursus pendek, membuat exhibition, membawa produk ke manca negara. Intinya negara telah membuat anggaran untuk UMKM.

Lalu, kenapa UMKM tetap saja tak mampu melewati omzet para raksasa bisnis? Kenapa pelaku UMKM tetap saja sebagian besar miskin? Dan kenapa produk UMKM tak memiliki daya saing yang sepadan?

Baca juga : Bunda Niken Perkenalkan Produk UMKM NTB Kepada Majalah IABA

Mari secara ringkas kita udar.

Jika benar dalam statistik jumlah UMKM di Indonesia adalah 57,9 juta unit, dan terbesar jumlahnya di dunia, jika ambil angka paling pesimis: 20% saja UMKM yang layak dianggap sukses, maka seharusnya memiliki kontribusi besar pendapatan pajak. Itu logika sederhana. Artinya ada sekitar 15 juta unit UMKM memiliki kemampuan bayar pajak dengan nilai yang layak.

Coba kita cek : penerimaan pajak dari kontribusi UMKM terhadap PDB yang sebesar 60% hanya sebesar Rp 2 triliun, di tahun 2021. Kontribusi itu tergolong sangatlah kecil.

Nah, jelas itu tak logis. Cara sederhana melihat persoalan, artinya pemerintah gagal memberdayakan umkm. Bahkan dengan anggaran belanja negara, alokasi anggaran yang disediakan untuk klaster dukungan UMKM adalah sebesar Rp95,87 triliun. Itu baru anggaran pemerintah pusat, belum dari APBD. UMKM seolah satu klaster paling dicintai oleh kebijakan anggaran.

Okelah, jika bukan soal memperbandingkan antara penerimaan pajak dan gelontoran anggaran. Namun sebenarnya dari kacamata itu terlihat jelas, yakni soal gagalnya program pemerintah dan atau ceruk koruptif oleh pemerintah dengan jargon dukungan umkm. Mari, kita audit soal ini. Apakah anggaran itu efektif, atau justru hanya dihamburkan untuk dalih program lalu sebagian anggaran dikorupsi??

Sulit mempercayai program pemerintah dikala korupsi masih merajalela. Pelaku UMKM bahkan penulis sinyalir dijadikan alat bagi mereka yg bergelut dalam pemberdayaan umkm sebagai sarana sebagian pejabat dan pns untuk mendapat cuan koruptif. Jelas ini hipotesa, bukan sebuah kesimpulan.

Baca juga : Sejahterakan Petani dan UMKM, TPP PNS Pemprov NTB Akan Diberikan Beras Petani Lokal

UMKM memiliki ribuan persoalan, tiap unit umkm memiliki persoalan yang berbeda-beda. Baik dari sisi SDM, produk, pasar hingga keperpihakan kebijakan.

Kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja juga sangatlah potensial. Namun seiring dari lemahnya daya saing UMKM menjelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan bagi orang yang berusaha maupun bekerja di unit umkm jelas sangat rendah.

Bahkan dari berbagai analisa, masa pandemi ini sektor UMKM menjadi bagian yang tak terhindarkan menjadi kelompok miskin baru. Naas bukan..

Pemahaman mengenai UMKM oleh pemerintah adalah kunci efektifitas ‘menolong’ umkm, artinya harus ada upaya yang lebih sahih memprioritaskan umkm sebagai soko guru ekonomi. Apa saja??

Pertama, stop korupsi dalam menangani program peningkatan umkm. Selama pikiran dan prilaku koruptif masih ada dikalangan itu, maka umkm tak akan mendapat manfaat utuh. Coba lihat, begitu ada acara pejabat berduyun-duyun membuat laporan, dan otomatis begitu pejabat datang maka anggaran pasti bocor demi melayani si pejabat. Ini mental buruk, budaya ‘asal bapak senang’masih kental pada birokrasi kita.

Kedua, upaya peningkatan umkm baik mutu, menejerial, dan kapasitas harus melihat pasar. Alih-alih memikirkan produk mau dijual kemana dan bagaimana caranya saja, pemerintah dan sekaligus pelaku umkm sangat tak relevan, terlalu banyak contohnya jika digambarkan disini.

Baca juga : UMKM Berjaya di Negeri Sendiri, Dewan Pembina MIO Indonesia Minta Regulasi Memberatkan Pelaku Usaha Dicabut

Ketiga, harus ada keperpihakan baik secara prilaku pasar maupun kebijakan pemerihtah. Harus ada kampanye yg kuat mengenai pengunaan/konsumsi produk umkm. Karena ada dasarnya sebagian besar unit umkm tak memiliki budget promosi dalam konsep penjualannya. Apalagi pemeritah, jelas dungu, disisi lain anggaran untuk umkm terus meningkat namun kran import produk luar negeri juga makin gencar. Itu kan dungu..

Keempat, visi umkm rata-rata memiliki kecenderungan berusaha (bisnis) jangka pendek. Tak berbasis pada keberlangsungan usaha untuk jangka panjang. Kondisi ini makin diperparah oleh konsep pemerintah yang memiliki kecenderungan mengejar pengeluaran anggaran. Tanpa grand design dalam pendampingan umkm.

Kelima, mulailah membangun koperasi. Hemat penulis, jalan lebar menuju kemajuan umkm adalah melalui koperasi. Bukan malah membiarkan unit per unit umkm hidup segan mati berkali-kali. Koperasi harus memiliki kelengkapan bisnis yang modern, managemen yg akuntable, profesional dan punya visi jangka panjang. Dan itu akan sulit dilakukan, jika ada birokrasi ikut campur apalagi intervensi. Harus ada batasan jelas, dimana dan peran apa bagi birokrasi.

Bagaimana pendapat anda??

*Kang Soe
adalah Ketua Presidium Kopi Indonesia, pelaku UMKM, sekaligus pengamat kebijkan publik. Tinggal di Mataram, NTB.

Exit mobile version