Politik Uang Dapat Memicu Kepala Daerah Atau Wakil Rakyat Lakukan Korupsi “Balik Modal”

 

Mataram, SIARPOST | Fenomena politik uang menjadi ancaman serius menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program ‘Hajar Serangan Fajar’ mengimbau masyarakat ikut mengawal Pemilu dengan menentang dan menolak praktik politik uang yang dapat menjelma menjadi korupsi.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan sudah bukan menjadi rahasia lagi jika setiap penyelenggaraan Pemilu baik tingkat nasional maupun tingkat daerah masih dikotori dengan politik uang.

Apabila masyarakat dengan senang hati menerima politik uang, maka perilaku tersebut dapat memberatkan para kepala daerah serta wakil rakyat.

Baca juga : Pemberi dan Penerima Politik Uang Bisa Dipidana, Caleg Terlibat Bisa Dibatalkan Jika Terpilih

Sebab, ongkos politik/demokrasi yang tergolong sangat mahal dapat memicu kepala daerah/wakil rakyat melakukan tindak pidana korupsi.

“Menjelang pencoblosan banyak orang yang berbagi rezeki. Kami mendorong nanti tahun depan ketika pemilu tolong hindarkan diri dari perbuatan untuk menerima sesuatu dari calon,” ujarnya, pada Agustus 2023 yang lalu dikutip dari hukumonline.com.

Menurutnya, para wakil rakyat dan kepala daerah yang terpilih bakal berhitung ongkos yang telah dikeluarkan untuk mengikuti kontestasi jabatan politik.

Ongkos tersebut pun bakal diupayakan agar kembali modal. Para kepala daerah yang terjaring KPK dalam perkara korupsi tak lepas dari praktik balik modal.

Mantan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu mengatakan, praktik balik modal yang dilakukan kepala daerah terpilih dengan berbagai macam hal. Misalnya, area pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) yang rawan terjadinya penggelapan aset akibat pengamanan yang lemah.

Baca juga : Is Karyanto, Sosok Anak Muda Calon Pemimpin Masa Depan NTB

Bahkan boleh jadi pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) yang rawan suap/gratifikasi proyek.

“Pengadaan barang/jasa dan proses perizinan kenapa begitu sulit, kenapa banyak pekerjaan kontruksi yang tidak beres, ya karena tadi itu ada mark up, ada kualitas yang diturunkan untuk mengejar setoran,” jelas Alex.

Dihimpun dari data KPK, biaya politik calon bupati/wali kota rata-rata Rp30 miliar, sementara gaji bupati/wali kota terpilih selama 5 tahun di bawah biaya politik. Begitu pula dengan biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Sedangkan untuk pemilihan presiden, biayanya jauh lebih besar lagi.

KPK pernah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Mantan Bupati Klaten Sri Hartini tahun 2016 silam. OTT tersebut terkait perkara tindak pidana korupsi berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara terkait pengisian jabatan di Pemerintah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sri Hartini divonis hukuman 11 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Semarang. (Tim)

Exit mobile version