Mataram, SIAR POST | Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) resmi menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Masjid Agung Bima. Keputusan ini langsung memicu sorotan tajam dari publik, terutama aktivis anti-korupsi yang menilai ada kejanggalan dalam proses penegakan hukum.
Firdaus, Koordinator Investigasi dari Lingkar Aktivis dan Wartawan (LAWAN) NTB, menyebut penghentian ini sebagai bentuk anomali hukum.
BACA JUGA : PWPM NTB Desak ESDM Perkuat Pengawasan: Buruh Lokal Tambang STM Masih Termarjinalkan
Ia menilai langkah Kejati NTB belum menjawab keresahan masyarakat yang sejak awal mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas penggunaan dana miliaran rupiah dari APBD.
“Ini bukan cuma soal administrasi atau pelanggaran ringan. Ini tentang kepercayaan masyarakat yang terus terkikis karena penegakan hukum yang dianggap tidak tegas dan tidak transparan,” kata Firdaus saat diwawancarai di Mataram, Rabu (16/4).
Kejati NTB Ungkap Alasan Penghentian
Kasi Penyidikan Pidana Khusus Kejati NTB, Hendarsyah YP, menyampaikan bahwa penghentian penyidikan didasarkan pada hasil klarifikasi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB.
Ia menyebutkan bahwa dari total temuan Rp8,4 miliar, sebagian besar merupakan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp7 miliar yang telah dikembalikan ke kas daerah. Sisanya, yakni kekurangan volume pekerjaan dan denda keterlambatan, juga telah diselesaikan oleh pihak pelaksana proyek.
BACA JUGA : Ormas Sasaka Nusantara Resmi Laporkan Kades Bujak ke Polisi, Diduga Terlibat Korupsi Dana Desa dan BUMDes
Namun, menurut Firdaus, penyelesaian administratif tersebut tidak otomatis menghapus dugaan adanya tindak pidana korupsi. Ia menegaskan bahwa pengembalian uang bukan berarti tidak ada niat jahat dalam pelaksanaan proyek.
“Bisa saja pengembalian itu dilakukan setelah kasus ramai diberitakan. Hukum tidak boleh hanya berhenti di atas kertas,” ujarnya tegas.
Apakah Sah Secara Hukum?
Secara hukum, penghentian penyidikan memang dimungkinkan jika tidak ditemukan cukup bukti atau jika peristiwa tersebut bukan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Namun, merujuk pada doktrin hukum progresif dari Prof. Satjipto Rahardjo, hukum semestinya dilihat tidak hanya dari aspek normatif, tetapi juga dari substansi dan konteks sosial. Firdaus menilai bahwa meskipun temuan BPK telah diselesaikan secara administratif, bukan berarti tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau upaya penghindaran hukum.
“Hukum itu bukan mesin. Ia harus peka terhadap keadilan sosial dan keresahan masyarakat. Jika penyidikan dihentikan tanpa penjelasan komprehensif, publik bisa menilai bahwa hukum hanya tunduk pada kekuasaan,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam sejumlah putusan Mahkamah Agung, banyak kasus korupsi tetap diproses meskipun kerugian negara telah dikembalikan. Pengembalian itu hanya menjadi faktor meringankan, bukan alasan membebaskan.
BACA JUGA : Proyek Irigasi Rp1,7 Miliar di Empang Bermasalah, LPD Desak Penegakan Hukum Tegas
Kekecewaan Publik dan Harapan Evaluasi
Masjid Agung Bima bukan hanya bangunan, tapi simbol keagamaan dan moralitas masyarakat. Kerusakan pada beberapa bagian masjid yang baru diresmikan tahun 2022 makin memperkuat kekecewaan warga.
“Masjid seharusnya jadi pusat nilai kejujuran dan kebaikan, bukan justru dicemari dugaan korupsi,” ujar Firdaus.
LAWAN NTB mendesak Kejaksaan Agung untuk mengevaluasi proses penanganan kasus ini. Mereka juga berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan kembali agar tidak ada konflik kepentingan dan semua proses berjalan transparan.
“Penegakan hukum adalah kerja bersama. Ini bukan hanya soal satu kasus, tapi soal menjaga integritas hukum di NTB ke depan,” pungkas Firdaus. (FR)