Aliansi Perempuan dan Anak NTB Tolak Peleburan DP3A: Suara Akar Rumput yang Terabaikan

Aliansi perlindungan perempuan dan anak usai menyerahkan surat ke Ojek Online untuk dikirim ke Gubernur NTB, bentuk kekecewaan komunikasi yang tidak dibuka oleh pemprov NTB. Dok istimewa

Mataram, SIAR POST — Suara-suara penolakan datang dari Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak NTB terhadap wacana Pemerintah Provinsi NTB yang berencana melebur Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial.

 




Bagi mereka, langkah ini bukan hanya soal efisiensi birokrasi, tetapi juga bentuk nyata dari kemunduran kebijakan perlindungan terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak.

“Peleburan ini bukan solusi, melainkan ancaman terhadap layanan yang selama ini sudah kami perjuangkan dengan susah payah,” kata Nurjanah, aktivis perempuan dan salah satu koordinator aliansi, saat konferensi pers di Teras Udayana, Rabu (30/4/2025).

BACA JUGA : PLN Amankan Listrik Festival Rimpu Mantika, Dukung HUT ke-23 Kota Bima Tanpa Kedip

DP3A Bukan Sekadar Dinas Biasa

DP3AP2KB memiliki peran strategis dan spesifik yang tak bisa begitu saja dilebur ke dinas lain. Selain menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui UPTD PPA, dinas ini juga menjadi motor penggerak pengarusutamaan gender (PUG), pemberdayaan ekonomi perempuan, penyedia data profil gender, dan advokasi penghapusan praktik berbahaya seperti perkawinan anak.

“Kalau hanya dilihat dari angka kasus, memang DP3A terlihat kecil. Tapi kita lupa, fungsi preventif dan edukatifnya sangat penting. Mereka bekerja di tengah keterbatasan, sering kali jalan sendiri tanpa dukungan struktural yang cukup,” tambah Ririn Ayudianti, Koordinator lainnya.

 




Surat Audiensi yang Diabaikan

Aliansi telah dua kali mengirim surat permintaan audiensi kepada Gubernur NTB, Lalu Muhammad Iqbal, namun tak mendapat tanggapan.

Surat pertama dikirim sebelum Ramadan, dan surat kedua menjelang konferensi pers. Ketertutupan pemerintah ini menjadi simbol kekecewaan mendalam masyarakat sipil terhadap proses pengambilan keputusan yang tidak partisipatif.

“Kalau kebijakan dibuat tanpa mendengar suara dari bawah, apa artinya demokrasi dan partisipasi publik?” tanya Nurjanah.

Reformasi, Bukan Pembubaran

Koordinator Aliansi lainnya, Ririn Ayudianti, mengakui bahwa ada banyak tantangan dalam kinerja DP3A. Namun, solusinya bukan pembubaran, tapi reformasi kelembagaan. Skor kinerja yang rendah seharusnya jadi alarm untuk memperbaiki, bukan vonis untuk menghapus.

“DP3A bukan lembaga lemah. Mereka dilemahkan. Kurangnya dukungan politik, minim anggaran, dan SDM yang tidak prioritas membuat mereka seperti dibiarkan berjuang sendiri,” jelas Ririn Ayudianti.

Selama ini, DP3A disebut jarang mendapat dukungan sinergis dari OPD lain. Banyak program inovatif mereka tidak mendapat sambutan.

Bahkan rekomendasi strategis terkait gender dan pembangunan tidak dijadikan acuan oleh sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.

Risiko Peleburan: Dari Preventif Jadi Reaktif

Peleburan DP3A ke Dinas Sosial dikhawatirkan akan mengubah pendekatan dari yang semula preventif dan sistemik menjadi reaktif dan tambal sulam.

Dinas Sosial sudah dibebani begitu banyak urusan, dari bantuan sosial hingga penanganan disabilitas dan lansia. Jika fungsi-fungsi DP3A dimasukkan ke dalamnya, isu perempuan dan anak berpotensi terpinggirkan.

Aksi Simbolik: Surat via Gojek

Dalam konferensi pers yang digelar pada 30 April 2025 di Teras Udayana, aliansi melakukan aksi simbolik: surat penolakan dikirim ke Gubernur NTB melalui ojek online. Aksi ini menggambarkan tertutupnya pintu dialog antara masyarakat sipil dan pemerintah provinsi.

Acara yang berlangsung khidmat itu juga diisi dengan testimoni penyintas kekerasan, pembacaan surat penolakan oleh perwakilan komunitas, dan menyanyikan lagu “Ibu Pertiwi” sebagai penutup.

BACA JUGA : LMND NTB Luncurkan Posko Pengaduan Mahasiswa: Suara Baru Perjuangan Pendidikan yang Adil di Mataram

Pesan Akhir: Jangan Hilangkan Rumah Perjuangan

“Kalau rumahnya mau dibakar, bagaimana kita bisa terus berjuang?” tanya Nurjanah lirih. Menurutnya, menghapus DP3A sama saja dengan menghapus sejarah panjang perjuangan perempuan NTB. Dalam sistem yang masih patriarkal, pemberdayaan perempuan bukan pekerjaan satu hari, tetapi butuh institusi yang fokus dan kuat.

Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak NTB menyerukan agar DP3A diperkuat, bukan dilebur. Bagi mereka, perlindungan perempuan dan anak bukan sekadar wacana, tapi keberanian menjaga struktur yang sudah bekerja—meski dalam senyap dan keterbatasan.

Redaksi____ Feryal

Exit mobile version