Perahu yang membawa penumpang ke Pulau Moyo Sumbawa. Dok Istimewa
MATARAM, SIAR POST | Air Terjun Mata Jitu, salah satu daya tarik utama di Pulau Moyo, berada di wilayah yang kini resmi ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Status ini memberi kewenangan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk memungut retribusi dari setiap wisatawan yang masuk ke kawasan konservasi.
Tarifnya tidak main-main: Rp250.000 untuk wisatawan asing dan Rp15.000 untuk wisatawan lokal.
Pada hari libur, jumlah wisatawan bisa mencapai 100 orang lebih, dengan dominasi pengunjung asing hingga 50 orang. Namun, lagi-lagi, masyarakat lokal tidak merasakan manfaat dari retribusi besar tersebut.
“Kami hanya dapat Rp25 per orang dari tiket lokal. Dari pengunjung asing tidak ada sama sekali. Fasilitas tidak pernah dibangun, tidak ada posko, tidak ada petugas resmi yang berpakaian lengkap, bahkan air bersih dan akses jalan tidak diperhatikan,” kata Seorang Tokoh masyarakat di Desa Labuhan Haji, Kabupaten Sumbawa, Zainal Abidin, Sabtu (31/5/2025).
Setahun lebih sejak kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional, belum ada satupun pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah pusat. Tidak ada tanggul anti abrasi, tidak ada dermaga standar, dan jalan ke air terjun masih rusak parah.
“Petugas BKSDA datang pungut uang tapi tidak pernah ada laporan ke desa. Kami tanya, retribusi itu disetor ke mana? Kalau memang ini untuk negara, mana buktinya bahwa uang itu kembali ke desa sebagai bentuk pembangunan?” kata Yuni Bourhany, yang selama ini aktif dalam advokasi hak-hak warga pesisir dan konservasi.
Sementara masyarakat swadaya menjaga laut dan hutan, pemerintah hanya hadir saat menarik pungutan.
BACA JUGA : Kongres Akbar dan Aksi Tano Jilid 4 Akan Digelar, Peringati 12 Tahun Perjuangan Provinsi Pulau Sumbawa
“Kami yang jaga wilayah konservasi, tapi tak dianggap. Pokmaswas sudah 4 tahun jalan tanpa dukungan. Illegal fishing kami cegah sendiri, tapi kami tak pernah dibantu,” tambah Zainal.
Warga Pulau Moyo berharap status taman nasional tidak menjadi alasan baru untuk mengekstraksi kekayaan alam tanpa memberikan timbal balik.
“Jangan hanya kami yang diperas. Kalau kawasan ini penting untuk konservasi nasional, pemerintah pusat harus hadir juga dengan program nyata, bukan cuma pungutan,” pungkasnya.
Saat berita ini dipublikasikan, Pihak BKSDA dan Pemda Sumbawa belum dihubungi.
Redaksi___