Mataram, SIAR POST — Sebuah laporan dugaan pencemaran nama baik terhadap Gubernur NTB menggegerkan ruang digital. Namun, laporan tersebut kini memunculkan kontroversi hukum.
Pasalnya, laporan yang dilayangkan ke Subdit Siber Krimsus Polda NTB bukan berasal dari sang gubernur langsung, melainkan dari kelompok relawan pemenangan pasangan calon Iqbal–Dinda.
Ditkrimsus dalam rilisnya mengatakan bahwa laporan pencemaran nama baik Gubernur NTB dilayangkan oleh sejumlah elemen masyarakat yang merasa keberatan atas dugaan pencemaran nama baik tersebut.
Hal ini langsung dikritisi tajam oleh Suparjo Rustam, seorang pemerhati hukum senior NTB. Ia menilai pelaporan tersebut berpotensi cacat secara hukum.
“Saya bicara dalam konteks hukum normatif ya, pelaporan yang dilakukan bukan oleh Pak Iqbal langsung, melainkan oleh tim relawannya. Itu bermasalah,” ujar Suparjo dalam wawancara eksklusif, Minggu (23/6/2025).
BACA JUGA : Vale Panen Untung, Rakyat Hanya Dapat Ampas: Mahasiswa Kepung ESDM Tuntut Cabut Izin PT STM
Delik Aduan Absolut: Kesalahan Awal dalam Proses Hukum
Menurut Suparjo, pencemaran nama baik di media sosial bukan delik biasa. Ia masuk kategori delik aduan absolut — artinya, hanya korban langsung yang berhak melaporkan.
“Delik absolut itu tidak bisa diwakili. Harus yang merasa dirugikan langsung. Kalau bukan Pak Iqbal yang melapor, ya laporan itu bisa dianggap tidak sah,” tegasnya.
BACA JUGA : Hina Gubernur NTB Lewat Medsos, Ternyata Pelaku Cemburu Gubernur Akrab dengan Wakilnya
Suparjo merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU/2023, yang mempertegas bahwa pelapor dalam kasus pencemaran nama baik harus perorangan, bukan kelompok atau institusi.
“Bahasa hukumnya jelas: ‘orang lain’ dalam UU ITE hanya dimaknai sebagai individu. Bukan tim sukses, bukan LSM, apalagi relawan,” tambahnya.
Laporan Lemah, Pelaku Diduga Alami Gangguan Jiwa
Ironi laporan ini tak berhenti di situ. Berdasarkan informasi yang beredar, terduga pelaku disebut mengalami gangguan kejiwaan. Jika ini benar, maka laporan tersebut semakin tak berdasar, karena pelaku berpotensi tidak dapat dipidana.
“Kalau benar pelaku mengalami gangguan jiwa, maka sesuai Pasal 44 KUHP, ia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus ada pemeriksaan medis dulu,” jelas Suparjo.
Situasi ini memperumit posisi hukum pelapor. Bahkan, menurut Suparjo, jika laporan ini tetap diproses tanpa legal standing dan validasi kondisi psikologis pelaku, maka aparat bisa terjebak pada prosedur keliru.
Suparjo mengimbau agar Gubernur NTB bersikap bijak dan tidak gegabah menanggapi persoalan ini, apalagi jika laporan tersebut tidak dilakukan atas nama pribadi beliau.
“Pak Gubernur adalah tokoh publik yang dihormati. Jangan sampai masyarakat menilai beliau antikritik atau represif hanya karena ada oknum yang bergerak atas nama relawan,” katanya.
Lebih lanjut, Suparjo menyarankan pendekatan hukum yang lebih mengedepankan asas kemanfaatan daripada kepastian hukum.
“Kalau benar pelaku mengalami gangguan jiwa, maka pendekatan kekeluargaan dan kemanusiaan lebih pantas. Jangan sampai hukum justru jadi alat tekanan yang salah arah,” ujar dia.
BACA JUGA : POBSI Kota Mataram Klarifikasi Isu Pungli: Turnamen Biliar Tetap Gratis, Tak Ada Paksaan 5 Persen
Kasus ini menjadi alarm keras bagi aparat penegak hukum dan tim politikus lokal: jangan jadikan hukum alat kampanye atau alat tekanan atas nama loyalitas.
Polda NTB kini tengah mendalami laporan tersebut. Namun, suara kritis dari akademisi dan pakar hukum seperti Suparjo Rustam menjadi penanda bahwa proses hukum tak bisa dipaksakan tanpa dasar yang sah.
Redaksi___