SUMBAWA, SIARPOST – Kuasa hukum ratusan petani di Desa Kareke, Kecamatan Unter Iwes, Kabupaten Sumbawa, membeberkan kronologi lengkap soal sengketa lahan seluas 130 hektar yang kini berujung gugatan class action terhadap Pemerintah Daerah Sumbawa dan menjadi sorotan publik nasional.
Imam Wahyudin, SH, dari Kantor Hukum Imam Wahyudin & Rekan, yang ditunjuk sebagai kuasa hukum Kelompok Tani Unggul Sejahtera, menyatakan bahwa pengambilalihan lahan oleh Pemda untuk pembangunan Batalyon TNI tidak memiliki dasar kepemilikan yang sah dan justru menabrak prinsip keadilan agraria.
BACA JUGA : Geger di Bima! Suami Grebek Istri Berstatus ASN Bersama Pria Lain, Lapor Polisi soal Dugaan Persetubuhan
“Lahan ini dulunya adalah kawasan hutan industri yang masa konsesinya telah habis lebih dari 20 tahun lalu. Setelah menjadi lahan terbuka, warga sekitar secara turun-temurun menggarapnya. Tapi kini mereka diusir tanpa ganti rugi, tanpa tali asih, dan bahkan rumah milik petani pun dibongkar,” tegas Imam yang diwawancara media ini kemarin.
Kronologi Sengketa Versi Kuasa Hukum
- Awal Mula: Lahan Bekas Hutan Industri
Lahan seluas 130 hektar tersebut sebelumnya merupakan kawasan hutan industri yang dikelola oleh perusahaan pemegang konsesi.
Setelah masa konsesi berakhir, lahan menjadi status open access dan tidak dikembalikan secara efektif ke negara melalui prosedur agraria yang sah.
- Pengelolaan oleh Warga Secara Turun-Temurun
Sejak awal tahun 2000-an, warga Desa Kareke mulai membuka dan mengelola lahan tersebut sebagai kebun produktif.
Kegiatan pertanian berlangsung tanpa gangguan selama lebih dari 20 tahun, dan menjadi satu-satunya sumber penghidupan ratusan keluarga.
- Munculnya Klaim Pemda
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemda Sumbawa mengklaim lahan tersebut sebagai miliknya, diduga berdasarkan skema tukar guling proyek Bendungan Batu Bulan.
Namun menurut Imam, lokasi tukar guling berdasarkan SK Nomor 32 justru berada di Desa Taloko Maras, Kecamatan Moyo Hulu, bukan di Desa Kareke.
- Penyerahan Lahan Tanpa Dasar Sertifikat
Pemda diduga menghibahkan lahan kepada Kementerian Pertahanan RI tanpa terlebih dahulu memiliki bukti kepemilikan yang sah seperti sertifikat.
“Bagaimana mungkin menghibahkan tanah yang bukan milik sahnya? Kalau tidak ada sertifikat, maka apa yang dihibahkan? Ini cacat hukum,” ujar Imam.
Gugatan Class Action dan Laporan ke Pusat
Karena merasa hak mereka diinjak-injak, para petani melayangkan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Sumbawa, yang telah teregistrasi dengan nomor perkara 44/Pdt.G/2025/PN Sbw, dan akan mulai disidangkan pada 8 Juli 2025.
Bersamaan itu, mereka juga menyampaikan laporan resmi ke Kementerian Pertahanan RI dan Kementerian Pertanian RI, berisi tuntutan:
- Evaluasi legalitas pembangunan Batalyon di atas lahan garapan produktif;
- Penghentian sementara proyek sampai proses hukum selesai;
- Penyediaan lokasi alternatif untuk pembangunan batalyon;
- Pemberian perlindungan hukum dan sosial bagi petani terdampak.
- Penegasan: Negara Harus Taat Hukum, Bukan Tunduk pada Kepentingan Proyek
Imam menekankan bahwa negara harus berpihak pada prinsip keadilan agraria, bukan pada proyek yang mengorbankan rakyat.
“Kalau pun negara mau ambil alih lahan, maka harus melalui prosedur: identifikasi, pengakuan, dan ganti rugi. Bukan dengan pembongkaran diam-diam,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, Pemda Sumbawa belum memberikan pernyataan resmi. Pihak internal BPKAD Sumbawa yang dihubungi media ini belum bisa memberikan klarifikasi terkait lahan tersebut. Sementara itu, pembangunan Batalyon terus berjalan di atas lahan yang masih dipersengketakan.
Redaksi____