DPRD NTB Didesak Hentikan Penggusuran di Tanjung Aan: Sempadan Pantai adalah Hak Publik dan Adat

Lombok Tengah, SIARPOST — Organisasi budaya Sasaka Nusantara NTB mendesak DPRD Provinsi NTB agar tegas menegakkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2016 terkait perlindungan wilayah sempadan pantai.

Desakan ini muncul menyusul rencana penggusuran pedagang dan masyarakat yang beraktivitas di kawasan sempadan Pantai Tanjung Aan, Lombok Tengah, oleh pihak Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) beberapa waktu yang lalu.

Ketua Sasaka Nusantara NTB, Lalu Ibnu Hajar, menegaskan bahwa kawasan Tanjung Aan dan pantai-pantai selatan Lombok merupakan bagian dari wilayah adat dan budaya masyarakat Sasak.

BACA JUGA : Ketua Sasaka Serukan Boikot ITDC: Rakyat Sasak Siap Lawan Penggusuran di Tanjung Aan!

Karena itu, segala bentuk pembangunan yang bersifat permanen di wilayah sempadan pantai sejauh 100 meter dari titik pasang tertinggi harus dihentikan dan ditinjau ulang sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

“Kami mendukung pembangunan pariwisata oleh ITDC, asal sesuai aturan dan tidak menggusur rakyat kecil. Jangan abaikan hak masyarakat adat Sasak atas tanah dan pantai yang selama ini menjadi bagian dari tradisi dan budaya kami,” tegas Lalu Ibnu Hajar saat diwawancarai, Selasa (1/7/2025).

Ia mengacu pada ketentuan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, serta Perpres Nomor 51 Tahun 2016.

Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib menetapkan batas sempadan pantai dalam Perda RTRW untuk memastikan kelestarian lingkungan, akses publik, serta perlindungan dari bencana alam.

Sasaka Nusantara menyoroti belum adanya kejelasan hukum terkait Perda RTRW yang mengatur batas sempadan pantai di wilayah Lombok Tengah, meski secara nasional aturannya sudah jelas.

Ketidaktegasan ini, menurut mereka, menjadi celah bagi perusahaan seperti ITDC untuk mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.

BACA JUGA : Geger di Bima! Suami Grebek Istri Berstatus ASN Bersama Pria Lain, Lapor Polisi soal Dugaan Persetubuhan

“Setiap tahun masyarakat Sasak menggelar tradisi Bau Nyale dan upacara adat seperti Madak Mare di kawasan pantai selatan. Ini bukan sekadar pasir dan laut, ini soal identitas dan warisan budaya kami,” lanjut Lalu Ibnu Hajar.

Sasaka Nusantara menegaskan, pembangunan boleh dilakukan, namun tidak boleh menghilangkan nilai-nilai adat, ekosistem alami, serta hak publik atas pantai.

Mereka menolak segala bentuk pembangunan permanen di sempadan pantai Tanjung Aan yang dapat menghilangkan pasir putih alami yang menjadi daya tarik utama kawasan tersebut.

Exit mobile version