Lombok, SIAR POST – Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (FORNAS) VIII yang akan digelar di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2025 mendatang mulai menuai kritik keras dari berbagai pihak.
Pasalnya, alokasi anggaran sebesar Rp25 miliar dalam dokumen resmi Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) dinilai sarat kejanggalan, tidak proporsional, dan minim asas efisiensi.
Angka tersebut bahkan lebih kecil dari rumor awal yang menyebutkan total anggaran menyentuh Rp28 miliar. Namun yang menjadi sorotan tajam adalah bagaimana dana sebesar itu dibelanjakan.
BACA JUGA : Hibah Fornas Disunat, Pokir Dihapus Diam-Diam, Behor : Ini Melanggar Hukum dan Konstitusi!
Venue dan seremoni pembukaan-penutupan menyedot hingga Rp20 miliar, sementara biaya untuk atlet dan kontingen NTB hanya Rp3 miliar.
“Ini tidak masuk akal. Opening dan closing ceremony saja totalnya Rp8 miliar, sedangkan atlet yang berkompetisi justru cuma dapat Rp3 miliar. Venue milik pemerintah disewa, tapi banyak yang belum direhabilitasi dan pekerjanya belum dibayar,” tegas Lalu Haris Wink, Presiden Kasta NTB, kepada SIAR POST, Kamis (24/7/2025).
Dalam rincian dokumen yang diperoleh redaksi, terdapat angka mencolok seperti:
Sewa venue/area: Rp7,9 miliar
Look of The Game: Rp3,3 miliar
Honor wasit dan juri: Rp1,6 miliar
Opening Ceremony: Rp4,5 miliar
Closing Ceremony: Rp3,5 miliar
Anggaran itu dikucurkan meski lokasi seremoni disebut-sebut hanya akan berlangsung di Kantor Gubernur NTB, bangunan milik pemerintah sendiri.
Kritik juga datang dari aktivis Sumbawa Barat, Yuni Bourhany, yang menyoroti prioritas anggaran daerah.
“Di Sumbawa, jalan rusak masih banyak. Daripada habiskan Rp25 miliar untuk event satu minggu, lebih baik benahi infrastruktur dasar yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, pihak Pemprov NTB membela diri. Gubernur NTB menyebut FORNAS akan mendongkrak ekonomi lokal melalui kunjungan 25 ribu peserta dan penyebaran kegiatan di 28 venue di Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Tengah. Ia menjanjikan efek domino untuk sektor UMKM, transportasi, dan pariwisata.
Namun publik tetap menuntut transparansi. Banyak pihak mempertanyakan:
Siapa pihak yang terlibat dan diundang dalam seremoni Rp8 miliar?
Mengapa venue milik pemerintah tetap disewa dengan biaya tinggi?
Mengapa alokasi untuk kontingen NTB tidak masuk dalam RKA, dan hanya diakui secara lisan oleh panitia?
Mengapa tidak ada alokasi jelas untuk sektor pendidikan, perbaikan jalan, atau layanan dasar lainnya?
Ketiadaan rincian teknis soal pengamanan, pelibatan UMKM secara menyeluruh, serta output dari berbagai belanja non-fisik seperti Victory Ceremony atau Liaison Officer & Volunteer juga menimbulkan tanda tanya besar.
Ke depan, para aktivis, akademisi, dan publik berharap belanja publik seperti ini tidak hanya sebatas euforia seremoni, melainkan betul-betul berdampak langsung bagi masyarakat luas. Evaluasi dan audit terbuka terhadap pelaksanaan FORNAS 2025 kini menjadi tuntutan nyata.
Redaksi : Ridho | Editor : Feryal