DPRD Lombok Tengah Dikepung Massa: Kompas-NTB Bongkar Dugaan Mafia 200 Villa Bodong dan Penguasaan Pantai oleh Investor

Lombok Tengah, SIAR POST – Suasana tegang mewarnai Kantor DPRD Lombok Tengah ketika massa dari Lembaga Kompas-NTB bersama aliansi masyarakat, petani, nelayan, dan mahasiswa mendatangi gedung dewan, Kamis (11/9/2025). Aksi besar-besaran ini dimulai sejak pukul 10.00 WITA dengan titik kumpul di Alun-Alun Tastura Praya sebelum bergerak menuju kantor DPRD.

Sorak dan orasi lantang terdengar, menuntut keadilan bagi rakyat kecil yang merasa diperas dengan berbagai pungutan dan pajak, sementara investor besar justru dibiarkan leluasa membangun tanpa aturan. Massa menyoroti beberapa isu krusial:

Dugaan perampasan tanah negara di Lombok Selatan oleh PT. Torok Deployment (Samara Hills) yang menguasai sempadan pantai untuk kepentingan privat.

BACA JUGA : Innalillahi, Anggota DPRD NTB H. Asaat Abdullah Wafat: Sosok Sederhana yang Konsisten Perjuangkan Aspirasi Rakyat

Maraknya sekitar 200 villa dan hotel ilegal di Lombok Tengah yang berdiri tanpa izin, namun tetap beroperasi.

Penggusuran pedagang kaki lima (PKL) yang dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap rakyat kecil.

“Rakyat kecil bayar pajak, tapi investor bodong dibiarkan tertawa. Ini penghianatan terhadap keadilan sosial,” tegas Saddam Husen, Koordinator Kompas-NTB dalam orasinya.

Massa kemudian diterima masuk ke ruang rapat DPRD untuk audiensi bersama beberapa kepala dinas terkait. Kepala Dinas PUPR Lombok Tengah menyatakan pihaknya sudah mengeluarkan edaran kepada para pemilik villa dan hotel untuk segera mengurus izin.

“Kalau mereka tidak patuh, kami akan turun tangan—bahkan membongkar paksa,” ujarnya.

Namun pernyataan ini justru memicu kecurigaan publik. Bagi massa aksi, selama ini pejabat daerah justru dianggap membiarkan pelanggaran hukum dan lebih berpihak kepada kepentingan investor ketimbang rakyat.

Kompas-NTB bahkan secara resmi mendesak Kapolres Lombok Tengah untuk segera mengusut tuntas dugaan mafia pembangunan 200 villa dan hotel bodong tersebut.

“Kalau aparat bungkam, publik berhak menilai polisi ikut melindungi pelanggar hukum,” tegas Ahmad Halim, Korlap aksi.

BACA JUGA : Di Laut Menjaga Negeri, di Darat Menjaga Iman: Dedikasi Bharada Rizki, Polisi Polairud NTB yang Jadi Guru Ngaji

Massa juga mengutip regulasi yang jelas melarang penguasaan sempadan pantai, seperti Perpres Nomor 51 Tahun 2016 dan UU Nomor 27 Tahun 2007.

“Undang-undang ini berlaku untuk semua, termasuk investor asing. Jika pejabat menutup mata, berarti mereka bagian dari kejahatan,” imbuh Saddam.

Aksi yang berlangsung hingga siang ini mendapat simpati dari berbagai kalangan, terutama pedagang kecil, buruh, petani, dan nelayan yang selama ini merasakan langsung dampak ketidakadilan.

Dengan semboyan “Investor Tersenyum, Pejabat Tertawa, Pedagang Digusur, Rakyat Menangis Bayar Pajak,” massa menegaskan tidak akan berhenti sebelum hukum ditegakkan.

Kepala Dinas & Investor Angkat Bicara

Dalam audiensi, Kepala Dinas PUPR Lombok Tengah menyampaikan pihaknya sejak lama sudah turun ke lapangan dan bertemu dengan pihak PT. Samara. Menurutnya, perusahaan tersebut berkomitmen untuk mematuhi semua regulasi yang berlaku.

“Jika itu tidak diindahkan, kami akan memanggil pihak PT. Samara untuk hadir. Soal villa dan hotel yang menjamur, Sekda bersama PUPR sudah berkordinasi untuk mendata pemilik dan mendorong agar proses izin segera terbentuk,” ujarnya.

Ia menambahkan, bagi pemilik villa dan hotel yang belum mengurus izin, pemerintah sudah melayangkan edaran resmi. “Kami akan kirim surat. Kalau tidak mau urus izin, pilihannya hanya dua: bongkar sendiri atau kami yang bongkar. Soal reklamasi pantai juga sudah kami beri peringatan, dan jika diabaikan, kami akan turun langsung untuk menindak tegas,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah, Lalu Sungkul, memberikan pernyataan kontroversial. Ia menilai regulasi sempadan pantai harus disesuaikan dengan kondisi daerah.

“Ada dua hal. Kalau mengacu ke 150 meter, kita punya perda 35 meter. Itu mendukung iklim investasi. Kalau kita cekal semua investor, kita yang akan rugi karena pulau kita terbatas. Tapi kalau terkait bronjongan dan hak milik, itu jelas tidak boleh. Perlindungan harus ada, tapi mari kita pikirkan bersama,” ujarnya.

Di sisi lain, Agus Wahaji, perwakilan PT. Samara Lombok, menegaskan bahwa pihaknya patuh pada hukum Indonesia.

Exit mobile version