Lombok Barat, SIARPOST — Kekecewaan mendalam dirasakan keluarga pemilik lahan yang memenangkan sengketa tanah di wilayah Desa Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Pasalnya, meski sudah ada putusan pengadilan yang inkrah dan eksekusi lahan telah dilakukan pada Juni 2024, namun Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Barat dinilai berlarut-larut dan seolah mempersulit proses pembatalan sertifikat atas nama H.M. Izzul Islam, mantan Bupati Lombok Barat periode 2008–2009.
Salah satu ahli waris, I Gusti Agung Bagus Dwipayana, mengungkapkan kekecewaannya saat ditemui, Senin (3/11/2025).
“Kami sudah lebih dari satu tahun mengurus pembatalan sertifikat dan permohonan penerbitan sertipikat atas nama I Gusti Ayu Mas Candrawati , tapi BPN Lombok Barat seperti tidak mau memproses. Padahal, putusan pengadilan sudah jelas, sudah inkrah dan lahan itu sudah dieksekusi oleh PN Mataram. Tapi mereka justru beralasan seolah mencari celah untuk menunda,” ujarnya kesal.
Menurutnya, proses administrasi di BPN Lombok Barat sangat berbelit dan melelahkan. Kuasa hukum keluarga bahkan telah menyampaikan surat resmi sejak tahun lalu untuk memohon pembatalan sertifikat atas nama H.M. Izzul Islam dan penerbitan ulang atas nama pemilik sah, I Gusti Ayu Mas Candrawati. Namun hingga kini belum ada tindak lanjut berarti.
Yang lebih mengejutkan, diatas Objek tersebut pihak BPN Lombok Barat pernah menerbitkan sertipikat nomor 3002 kurang lebih pada tahun 2016 atas nama Haji Muhammad Izzul Islam namun pada saat itu aset pemda Lombok Barat tidak pernah menyebut lahan tersebut merupakan milik aset Pemda Lombok Barat.
Balasan surat dari BPN Lombok Barat kepada I Gusti Ayu Mas Candrawati pada tanggal 23 Oktober 2025 Nomor : MP.02/669-52.01/X/2025 menyampaikan bahwa Objek tersebut merupakan Aset Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.
Padahal pada tahun 2012 Pemda Lombok Barat mengeluarkan Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor : 528/05/KAD/2012 tentang Pengembalian Tanah atas Objek lahan tersebut.
Putusan terbaru Pengadilan Negeri Mataram Nomor 24/Pdt.G/2017/PN Mtr secara tegas menyatakan bahwa tanah tersebut milik I Gusti Ayu Mas Candrawati, dan sudah dieksekusi pada 12 Juni 2024.
“Kami sangat kecewa. BPN seolah mengabaikan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Bahkan, alasan yang mereka berikan seakan menutup mata dari fakta hukum yang sudah jelas,” tambah Agung Bagus.
Sengketa tanah seluas 2,6 hektare di Desa Lingsar itu bermula sejak tahun 2017, ketika I Gusti Ayu Mas Candrawati menggugat H.M. Izzul Islam karena sertifikat tanah diterbitkan tanpa sepengetahuannya. Padahal, lahan tersebut merupakan tanah pecatu keluarga yang dahulu hanya dipinjamkan kepada Pemda Lombok Barat, dan telah dikembalikan berdasarkan SK Pemda Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor : 528/05/KAD/2012.
Proses hukum berjalan panjang hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK), di mana penggugat I Gusti Ayu menang di semua tingkatan. PN Mataram akhirnya melakukan eksekusi pada 12 Juni 2024, membongkar bangunan di atas lahan tersebut, dan menetapkan I Gusti Ayu sebagai pemilik sah tanah tersebut.
Kuasa hukum penggugat, Kurniadi, SH, MH, mengatakan kasus ini adalah bukti nyata bahwa sertifikat atas nama H.M. Izzul Islam cacat hukum.
“Sertifikat induk diterbitkan sekitar tahun 2016 tanpa dasar hak yang sah. Klien kami punya bukti atas nama keluarganya dan SK pengembalian tanah dari Pemda Lombok Barat. Semuanya sah menurut hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut Kurniadi menegaskan, BPN harus berhati-hati dan taat hukum agar kasus serupa tidak berulang.
“Kami minta BPN Lombok Barat segera menindaklanjuti proses pembatalan sertifikat lama dan menerbitkan sertifikat baru atas nama pemilik yang sah sesuai putusan inkrah,” ujarnya.
Sementara itu, keluarga pemilik lahan berharap BPN Lombok Barat tidak menutup mata dan segera menindaklanjuti surat permohonan pembatalan sertifikat yang sudah mereka ajukan beberapa kali.
“Kami sudah kirim surat sejak April 2025 dan direspons dengan pengecekan lapangan oleh-oleh tim BPN pada Mei 2025, tapi setelah itu tidak ada kabar lagi. Seolah-olah kami ini dipingpong,” kata Agung Bagus lagi.
Keluarga juga menembuskan surat permohonan tersebut ke berbagai instansi, mulai dari Kementerian ATR/BPN RI, Mahkamah Agung RI, Ombudsman RI, Gubernur NTB, hingga Kejaksaan Tinggi NTB, agar ada pengawasan langsung terhadap kinerja BPN Lombok Barat yang dinilai tidak profesional dan tidak berpihak pada kepastian hukum.
Catatan Redaksi
Kasus ini menunjukkan betapa rumitnya persoalan administrasi pertanahan di daerah, bahkan setelah putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Publik menanti komitmen BPN untuk menjunjung tinggi asas kepastian hukum dan tidak berpihak pada kepentingan tertentu, terutama dalam perkara yang sudah jelas putusan inkrahnya.
Redaksi | SIARPOST
