Ilusi Wacana Pemimpin Muda di Kabupaten Bima, Skema Politik Melanggengkan Kekuasaan

 

Penulis : Muhammad Aris Firdaus (Alumni Pascasarjana Prodi Magister Bahasa Indonesia Unram)

MATARAM, SIARPOST | Tren pemimpin muda kembali menggema pasca keberhasilan Gibran Rakabuming Raka berhasil menjadi Wakil Presiden terpilih di Pemilu 2024 lalu. Meskipun wacana ini, sudah lama muncul dalam kancah politik Indonesia.

Tren itu juga menjadi tagline politik kekinian yang hangat digaungkan di Pilkada 2024, misalnya saja muncul nama Kaesang Panggarep, Putra Presiden Jokowi yang santer diberitakan ikut Pilgub DKI ataupun Walikota Surabaya. Selain itu, banyak lagi anak muda yang digadang ikut berkontestasi di berbagai daerah di tanah air salah satunya di Kabupaten Bima.

Wacana Pemimpin muda selalu bersandarkan pada asas keterlibatan pemuda dan kebutuhan akan pemimpin yang energik. Kaum muda dinarasikan sebagai pemimpin yang akan mampu membawa kearah kemajuan.

BACA JUGA : Angka Stunting di Desa Selelos Lombok Utara Masih di Bawah Standar Nasional 14%, Pemdes Targetkan Terus Menurun

Wacana Pemimpin muda juga berangkat dari fakta bahwa 52% jumlah pemilih merupakan orang muda dalam pemilu (data KPU, Juli 2023). Sehingga wacana Pemimpin Muda dianggap sebagai representasi dari kekuatan kaum muda.

Tetapi apakah benar demikian ? Apakah wacana Pemimpin muda bermakna bahwa kaum muda diberikan kesempatan sepenuhnya untuk memimpin ?

Jacques Derrida adalah seorang filsuf asal Prancis yang dikenal dengan aliran pemikirannya yang disebut dekonstruksi. Pemahaman filsafat Derrida melibatkan penelitian mendalam tentang konsep-konsep seperti teks, bahasa, struktur, dan konteks. Dalam pandangan Derrida, bahasa berperan penting dalam pembentukan pengetahuan dan identitas.

Dalam sebuah artikel yang berjudul Teori Dekonstruksi Derrida dalam Kehidupan Sehari-hari, di Kompasiana, Dekonstruksi dijelaskan sebagai sebuah konsep inti dalam pemikiran Derrida yang merupakan strategi hermeneutis yang bertujuan mengungkapkan dan menganalisis kontradiksi dan dualitas dalam teks.

Setiap teks atau wacana selalu dipandang berpotensi untuk mendekonstruksi dirinya sendiri, sehingga teks atau wacana selalu dapat terbaca dan terpahami dengan cara berbeda. Salah satu cara untuk memahami dan mengaplikasikan Dekonstruksi adalah melalui Refleksi kritis.

Kalau kita coba merefleksi secara kritis wacana Pemimpin Muda, kita akan memahami bahwa yang dimaksud sebagai kaum muda disini bukan merupakan kaum muda biasa, tetapi lebih pada kaum muda yang berada dalam lingkaran elit, yang subtansi dan tujuan politiknya lebih pada kepentingan kelompok mereka sendiri.

Pemimpin muda yang kita harapkan dapat membawa perubahan dalam konteks kekinian malah menjadi agen yang melanggengkan dan menjerumuskan kita pada gaya politik dan kekuasaan yang cenderung pada Kolusi, Korupsi, dan penuh nepotisme.

BACA JUGA : 527 Tanah Aset Pemda Sumbawa Senilai Ratusan Miliar Belum Disertifikat

Apalagi pemimpin muda yang dimaksud merupakan anak dari dinasti politik. Wacana Pemimpin Muda dalam konteks itu tentu hanya menjadi sebuah alat pembenaran dari skema politik melanggengkan kekuasaan.

Pemimpin muda hanyalah sebuah logosentris yang maknanya tetaplah pada sebuah tawaran yang penuh ilusi. Dan kalau kita memaknainya secara tekstual, kita akan dikungkung oleh sebuah pemahaman awam dan sulit membuka diri memahami makna tersembunyi dibalik wacana itu. Wacana Pemimpin Muda seharusnya bergerak dari pikiran kritis dan tawaran solutif, bukan sebuah tren dan pembenaran, apalagi datang dari elit politik.

Kabupaten Bima tentu merupakan daerah yang membutuhkan Kepemimpinan dari Kaum Muda, mengingat kebutuhan pembangunan dan kemajuan daerah yang menjadi PR utama. Tetapi apakah Pemimpin Muda yang kita harapkan selalu muncul dari lingkaran elit dan sebuah dinasti ? Tentu Tidak. Kalau kita masih mengamini hal demikian, tentu cara berpikir kita masih terjebak pada hegemoni dan kepentingan kelompok.

Wacana Pemimpin muda seharusnya tumbuh subur di kalangan masyarakat khususnya generasi muda dan akademisi sebagai tawaran yang tidak bisa ditawar-tawar dan punya ukuran rasional yang jelas.

Pemimpin Muda seharusnya tidak hanya dimaknai secara literal bahwa yang muda yang harus menjadi pemimpin.

Tetapi pemimpin muda juga bisa dimaknai secara mendalam sebagai pemimpin yang punya semangat untuk mengarahkan dan mengembangkan diri, serta mencari inovasi.

Dalam Refleksi Kritis saya, Bima membutuhkan Pemimpin Muda yang berani, konsisten, dan peduli. Masyarakat Bima rindu akan pemimpin yang tidak hanya turun saat momentum tertentu.

Layaknya makna muda, pemimpin muda Bima seharusnya yang mampu terus bergerak mobile mendengarkan keluhan dan masukkan masyarakat sebagai dasar membuat kebijakan serta membantu keputusan yang berani dan inovatif untuk kebutuhan masyarakat berbasis data akademik. Bukan pada kepentingan kelompok apalagi keluarga.

BACA JUGA : WNA Asal Taiwan Ditemukan Meninggal Dunia Saat Snorkling di Gili Air Lombok

Selain itu, Bima butuh Pemimpin Muda yang konsisten dengan membangun dan merubah mindset generasi muda melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).

Misalnya dengan menjadikan Karang Taruna sebagai pioner dalam mengembangkan pariwisata dan ekonomi kreatif bukan hanya lembaga anak muda yang hanya menjalankan program secara seremonial dan menghabiskan anggaran.

Sehingga bisa kita simpulkan bahwa makna wacana Pemimpin Muda yang menjadi tren hari ini adalah sebuah wacana yang tidak merepresentasikan semangat kaum muda itu sendiri.

Wacana Pemimpin Muda hanya dijadikan sebagai alat untuk mengumpulkan dukungan anak muda yang mendominasi sebagai pemilih sekarang.

Pemimpin muda diciptakan sebaga ilusi untuk menyembunyikan kebobrokan sistem yang mana menciptakan pemimpin yang mementingkan kelompok tertentu dibandingkan masyarakat.

Dalam kata akhir, Pemimpin Muda hanya dimaknai dan dipahami dangkal tetapi tidak direfleksikan sebagai bahan evaluasi terkait makna sebenarnya dari wacana tersebut. ***

Exit mobile version