Sumbawa Besar, NTB — Penetapan status tersangka terhadap seorang wartawan sekaligus pegiat sosial di Sumbawa, berinisial A, memicu gelombang reaksi dari berbagai kalangan masyarakat sipil.
A dilaporkan atas unggahan Facebook pribadinya yang memuat dugaan penggunaan material ilegal dalam proyek lanjutan jalan dan jembatan SAMOTA senilai Rp131,9 miliar yang dikerjakan pada tahun 2024.
Merespons hal ini, Koalisi LSM dan aktivis dari berbagai organisasi mendatangi Polres Sumbawa, Rabu (30/7/2025), untuk menyuarakan keprihatinan mereka.
Audiensi tersebut dilakukan langsung dengan Kapolres Sumbawa yang baru, AKBP Marieta Dwi Ardhini, sosok perempuan pertama yang menjabat sebagai Kapolres di wilayah ini.
BACA JUGA : Minim Biaya, Perssoci Lampung Tetap Optimis Ukir Prestasi di FORNAS VIII NTB
Dalam pertemuan terbuka dan hangat tersebut, tokoh aktivis Welsukrianto (Bang Wel) dan Hermanto (Bang Viktor) menyampaikan keresahan atas proses hukum terhadap A.
Mereka menegaskan bahwa unggahan tersebut merupakan bentuk kritik berbasis dugaan, bukan pencemaran nama baik.
“Unggahan itu tidak menyebut nama langsung, hanya menggunakan kata ‘diduga’. Ini bentuk kontrol sosial. Jika ini dipidana, maka ruang demokrasi dan kritik publik berada dalam ancaman,” tegas Bang Wel.
Kapolres AKBP Marieta menjelaskan bahwa proses hukum telah mengikuti prosedur, namun ia membuka ruang penyelesaian secara kekeluargaan melalui restorative justice.
“Proses hukum berjalan, tapi kami sangat terbuka jika para pihak ingin menyelesaikan ini secara damai. Kami siap memfasilitasi,” ujarnya.
Koalisi LSM mendesak agar proses hukum terhadap A dihentikan demi menjaga iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat.
BACA JUGA : Aliansi Masyarakat Adat Soroti Ketiadaan Pakaian Khas Lombok Utara
Mereka mengingatkan bahwa sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka atas opini publik, semestinya dugaan pokok—yakni penggunaan material ilegal dalam proyek tersebut—diusut tuntas terlebih dahulu.
“Jika dugaan A terbukti benar, lalu siapa yang sebenarnya mencemarkan nama baik siapa? Ini soal keadilan, bukan sekadar pasal,” tambah Bang Wel.
Koalisi juga menekankan bahwa unggahan di media sosial pribadi tidak sama dengan produk jurnalistik resmi, dan karenanya harus dipahami dalam konteks kebebasan berekspresi.
“Kalau kritik di medsos bisa berujung pidana, siapa pun bisa jadi terlapor. Hari ini A, besok bisa B, C, dan seterusnya,” kata Hermanto.
Pada Kamis (31/7), perwakilan koalisi sudah menemui pelapor berinisial S untuk menawarkan jalan damai. Sayangnya, meski pelapor secara pribadi menyatakan memaafkan, ia tetap ingin proses hukum dilanjutkan.
“Kami datang ke rumah pelapor, niat kami murni untuk mengedepankan damai. Tapi pelapor tetap melanjutkan proses hukum. Kami hormati itu, tapi ini jadi catatan penting demokrasi kita,” tutup Bang Wel.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa hukum harus ditegakkan dengan menjunjung tinggi keadilan dan tidak boleh menjadi alat pembungkam suara publik.
Solidaritas terhadap kebebasan pers dan hak menyatakan pendapat kini bergema lebih luas di tengah dinamika demokrasi lokal di Sumbawa.
Redaksi____