banner 728x250

Gedung DPR, Bahasa Simbolik, dan Wacana Rp200 Miliar Pemprov NTB

banner 120x600
banner 468x60

OPINI Oleh : Muhammad Aris Firdaus (Akademisi)

Gedung tidak pernah netral. Ia bukan sekadar beton, besi, dan kaca yang menjulang, melainkan juga simbol yang bisa dibaca layaknya sebuah teks.

banner 325x300

Arsitektur adalah bahasa nonverbal yang berbicara kepada masyarakat. Karena itu, gedung DPR yang sering dijuluki sebagai “ rumah rakyat ” seharusnya menyampaikan pesan tentang kesederhanaan, keterbukaan, dan kedekatan dengan rakyat.

Namun, wacana pembangunan atau renovasi gedung DPRD senilai Rp200 miliar oleh Pemprov NTB belakangan ini menimbulkan pertanyaan besar: bahasa apa yang sebenarnya ingin dipilih para wakil rakyat melalui bangunan megah itu ? yang kemarin dibakar oleh masyarakat.

Meskipun penulis memberikan catatan penting juga terkait kejadian tersebut yang sekilas terlihat sistemik di beberapa wilayah di Indonesia.

BACA JUGA : Semangat Kemerdekaan, PLN Ajak Warga Rayakan Agustusan Secara Aman

Dalam perspektif semiotika Roland Barthes, setiap objek punya dua lapis makna. Pada level denotasi, gedung DPR ataupun DPRD hanyalah tempat kerja anggota dewan.

Tapi pada level konotasi, ia berbicara lebih jauh: kemegahan bisa dimaknai sebagai simbol kekuasaan dan jarak sosial, sedangkan kesederhanaan menjadi tanda kerakyatan dan keterbukaan.

Di titik inilah muncul persoalan. Bahasa simbolik yang dipilih DPR lewat gedung mewah dengan anggaran fantastis jelas berbicara lain dari bahasa politik yang mereka ucapkan.

Kata-kata seperti “merakyat”, “sederhana”, dan “wakil rakyat” kerap muncul di panggung politik. Tetapi simbol yang ditampilkan melalui bangunan megah justru menegaskan kesan elitis, jauh dari realitas kehidupan rakyat sehari-hari.



Barthes menyebut, tanda bisa berkembang menjadi mitos sosial. Gedung DPR yang megah bisa menciptakan mitos bahwa DPR adalah lembaga bergengsi, tinggi, dan berwibawa.

Namun, dalam mata publik, mitos itu bisa berubah menjadi cerita lain: DPR boros, DPR elitis, DPR semakin jauh dari rakyatnya.

Sebaliknya, jika DPR memilih gedung sederhana, mitos yang lahir bisa lebih bersahabat: wakil rakyat yang jujur, dekat dengan rakyat, dan lebih peduli pada substansi ketimbang citra.

BACA JUGA : Bupati Lombok Utara Sabet Penghargaan Pada Ajang Baznas Nasional Award

Dalam tradisi sastra, ironi seperti ini bukan hal baru. Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, hingga Wiji Thukul sering menyinggung jurang antara penguasa dan rakyat.

Kemewahan penguasa menjadi kontras yang tajam di tengah kehidupan rakyat yang masih berkutat dengan kesederhanaan. Gedung DPR, dengan segala kemegahannya, bisa dibaca sebagai “istana kaca”: indah dipandang, tetapi rapuh dan memperlihatkan jarak sosial yang kian melebar.

Pada akhirnya, pilihan arsitektur DPR adalah pilihan bahasa. Jika DPRD NTB memilih pembangunan dengan angka Rp200 miliar seperti rencana yang dibahasakan Pemprov oleh beberapa media di beberapa hari ini maka bahasa yang terdengar adalah bahasa kekuasaan, elitis, dan penuh jarak.



Tetapi bila DPRD mau berani tampil sederhana dengan memilih anggaran yang lebih murah, bahasa yang tersampaikan akan lebih jujur: kerakyatan, keterbukaan, dan kedekatan dengan rakyat yang mereka wakili.

Gedung DPRD seharusnya menjadi simbol kepercayaan, bukan simbol kemewahan. Sebab, rakyat tidak menuntut gedung mewah. Yang rakyat butuhkan adalah wakil yang benar-benar bekerja untuk mereka, di gedung sederhana sekalipun.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *