banner 728x250

Dugaan Jual Beli SPPT di Kawasan Konsesi Tambang: Pola Lama Terulang di Ropang dan Lenangguar, Sumbawa

Ilustrasi : Bukit dan Hutan di NTB terlihat Gundul Digarap Masyarakat. Dok Mungbay

banner 120x600
banner 468x60

Sumbawa, SIAR POST – Dugaan praktik penerbitan dan jual beli SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) kembali mencuat di wilayah Ropang dan Lenangguar, Kabupaten Sumbawa. Aktivitas ini disebut-sebut menyerupai pola lama yang pernah terjadi di Hu’u, Dompu, dalam kawasan konsesi PT Sumbawa Timur Mining (STM).

banner 325x300

Informasi yang diperoleh media ini menyebutkan, sejumlah kelompok masyarakat yang mengklaim diri sebagai masyarakat adat diduga menguasai lahan di kawasan hutan lindung.

BACA JUGA : Geger di Pantai Nipah KLU: Mahasiswi Asal Mataram Tewas dan Rekannya Kritis Diduga Jadi Korban Begal

Mereka kemudian menerbitkan SPPT untuk memperkuat klaim kepemilikan. Praktik ini berkembang menjadi ajang jual beli lahan, bahkan rawan mengarah ke penerbitan sertifikat tanah (SHM) ilegal.

Menanggapi isu ini, pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB menegaskan bahwa hingga kini belum ada laporan resmi terkait penerbitan SPPT di kawasan hutan Ropang maupun Lenangguar Sumbawa.

“Sejauh ini tidak ada laporan resmi dari KPH. Hanya pada 2013 pernah ada kasus penguasaan lahan, tapi bukan penerbitan SPPT,” ungkap Penyidik Dinas LHK NTB, Ida Bagus Indra Gunawan saat ditemui di ruang kerja nya, Kamis (11/9/2025).

DLHK menegaskan, SPPT tidak bisa diperjualbelikan karena hanya bukti kewajiban pajak, bukan kepemilikan lahan. Apalagi, kawasan hutan lindung secara hukum tidak boleh diterbitkan SPPT maupun dokumen kepemilikan lainnya.

“Jika ada SPPT yang terbit di kawasan hutan, itu jelas melanggar aturan. Siapa pun yang memperjualbelikan bisa dijerat hukum,” tambahnya.

Kelompok yang menguasai lahan di Ropang dan Lenangguar kerap menggunakan alasan sebagai masyarakat adat untuk memperkuat posisi mereka. Bahkan, mereka mengklaim menguasai ribuan hektare kawasan hutan.

BACA JUGA : Dua Kali Dipanggil Jaksa Jalani Pemeriksaan, Apa Peran TGB Dalam Dugaan Korupsi NCC?

Namun, Ida Bagus Indra menegaskan bahwa di Provinsi NTB hanya ada satu hutan adat yang diakui, yakni di Bayan, Lombok Utara. Di luar itu, tidak ada pengakuan resmi masyarakat adat oleh bupati maupun pemerintah provinsi.

“Kami sering temukan pola ini. Tahun 2013 di Lunyuk ada kelompok yang mengaku masyarakat adat, tapi setelah ditelusuri ternyata berasal dari Bima, Dompu, bahkan Lombok,” jelas Indra

Kasus serupa juga pernah menjerat komunitas adat Pekasa di Sumbawa Barat. Ketua komunitas itu bahkan sempat diproses hukum oleh Polres KSB karena menduduki hutan negara dengan dalih adat.

Pola klaim adat untuk menguasai hutan sudah berulang kali terjadi di Sumbawa Raya, baik di Lunyuk, Sumbawa Barat, maupun Dompu. Bahkan pada 2013, aparat DLHK pernah menindak kelompok yang membangun pemukiman semi permanen di hutan dengan dalih adat, lengkap dengan mushola dan mengaku memiliki kuburan leluhur.

Sejumlah tokoh kala itu dijatuhi hukuman penjara. Namun, lemahnya pengawasan serta adanya jaringan pendukung dari luar daerah membuat pola ini terus berulang.

Menurut catatan di bidang PPH (Pengelolaan Perhutanan dan Hutan) DLHK NTB, kelompok-kelompok tersebut sejauh ini masih sebatas melakukan klaim dan pendudukan ilegal, serta kerap berselisih dengan petugas BKPH (Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan).

BACA JUGA : Ulat Ditemukan di Makanan Program MBG di SMPN 1 Empang, Orang Tua Murid Khawatir

Dari penelusuran media ini, pada tahun 2004 pemerintah Kabupaten Sumbawa juga ternyata pernah membatalkan lebih dari 600 SPPT di wilayah Ropang yang ternyata berada di dalam kawasan hutan.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *