BIMA, SIARPOST – Kasus Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Bima kembali menyedot perhatian publik. Di Desa Rade, Kecamatan Madapangga, tercatat ada tiga warga yang terpaksa dipasung karena tak kunjung mendapatkan penanganan medis memadai.
Mirisnya, salah satunya bahkan sampai menganiaya warga setempat akibat kondisi kejiwaannya yang kian parah.
BACA JUGA : Rekonstruksi Kasus Kematian Mahasiswi Unram di Pantai Nipah, Polisi Ungkap Dua Versi Kronologi Berbeda
Kepala Desa Rade, Atfah, saat ditemui Kamis (25/9/2025) mengungkapkan, pihaknya sudah berulang kali berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Bima, termasuk Wakil Bupati Bima dr. Irfan, Dinas Sosial, hingga Dinas Kesehatan. Namun, solusi konkret tak kunjung datang.
“Kami pernah rapat di Dinas Sosial bersama pihak Dikes, bahkan sudah ada kesepakatan untuk rujukan ke RSJ Mataram. Tapi terkendala biaya. Akhirnya warga dan keluarga iuran, terkumpul Rp2 juta lebih. Karena dipakai kebutuhan makan, habis sebelum cukup untuk biaya berangkat,” jelasnya.
Menurut Atfah, biaya merujuk pasien ODGJ ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mataram membutuhkan anggaran sekitar Rp5 juta per orang. Jumlah itu sangat berat ditanggung keluarga miskin, sementara pemerintah desa tidak memiliki pos anggaran khusus.
Tiga Warga Mendesak Ditangani, Satu Sudah Aniaya Tetangga
Ada tiga pasien ODGJ yang mendesak segera dirujuk ke rumah sakit, yakni Siti Hawa (mantan PNS di Maluku), Ahmad Iqbar, dan Suraudin. Kondisi Siti Hawa dinilai paling parah. Ia beberapa kali mengamuk hingga melukai warga desa.
“Kalau dilepas, dia keliling kampung dan mengancam warga. Makanya terpaksa dipasung, padahal kami tahu itu bukan solusi,” kata Atfah.
Pihak desa bahkan sudah melayangkan surat resmi kepada Bupati Bima sejak 4 Agustus 2025 untuk meminta dukungan dana. Namun hingga kini, belum ada tindak lanjut.
BACA JUGA : Ketahuan Jual LPG 3 Kg di Atas HET, Izin Pangkalan UD Yasmin di Sumbawa Dicabut
20 ODGJ di Desa Rade, Faktor Ekonomi Jadi Pemicu
Jumlah ODGJ di Desa Rade ternyata cukup tinggi, yakni mencapai 20 orang. Menurut Atfah, mayoritas kasus berawal dari tekanan ekonomi, persoalan keluarga, hingga depresi akibat larangan menikah.
“Banyak yang stres karena faktor ekonomi. Ada juga karena tekanan dari orang tua terkait pernikahan. Dari situ berkembang jadi gangguan kejiwaan,” jelasnya.
Aktivis sosial, Yuni Bourhany, mengecam sikap Pemkab Bima yang dinilainya lamban dalam menangani masalah ODGJ. Ia menegaskan bahwa penanganan ODGJ bukan sekadar urusan keluarga atau desa, melainkan tanggung jawab negara.
“Ini soal hak warga negara untuk mendapatkan kesehatan. Jangan biarkan masyarakat miskin menanggung beban sendiri. Pemda harus hadir dengan solusi, bukan hanya melempar-lempar kewenangan,” tegas Yuni.
Ia mendesak agar Pemkab Bima segera menyiapkan program anggaran darurat untuk merujuk pasien ODGJ yang kondisinya gawat. Menurutnya, pasung bukan solusi, justru bisa memperburuk kondisi psikologis penderita.
Pemda Dinilai Abai, Warga Hidup dalam Ancaman
Lambannya penanganan membuat warga Desa Rade resah. Pasien ODGJ yang dipasung dianggap bisa kapan saja mengamuk jika dilepas. Sementara keluarga mereka hidup dalam keterbatasan, tak mampu membiayai pengobatan.