banner 728x250

Kontroversi Cek Bocek Kian Memanas: AMAN Sumbawa Tegaskan Eksistensi Adat, Akademisi Unsa Sebut Klaim Buatan Terkait Tambang

Ilustrasi : kehidupan masyarakat adat di Indonesia

banner 120x600
banner 468x60

Sumbawa, SIARPOST – Polemik keberadaan Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury kembali menjadi sorotan publik di Kabupaten Sumbawa. Perdebatan tajam muncul setelah akademisi Universitas Samawa (Unsa), Muhammad Yamin, menyebut komunitas adat ini baru muncul setelah tambang di Dodo Rinti dibuka.

Pernyataan itu langsung mendapat bantahan keras dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Sumbawa yang menegaskan Cek Bocek memiliki sejarah panjang, jauh sebelum kehadiran tambang.

banner 325x300

BACA JUGA : Logikanya Aneh Kematian VR di Nipah, Dipukul dari Belakang Hingga Babak Belur Kok Jadi Tersangka?

AMAN: Pola Lama Delegitimasi Adat

Ketua AMAN Sumbawa, Febriyan Anindita, menilai pernyataan Yamin bukan hal baru, melainkan pola lama yang berulang. Menurutnya, sejak 2012 masyarakat adat sudah sering menjadi korban delegitimasi melalui riset yang dibiayai perusahaan tambang.

“Tahun 2012 pola ini sudah pernah terjadi. Waktu itu ada penelitian Lab Sosio UI yang dibiayai PT Newmont Nusa Tenggara. Hasil risetnya mentah secara metodologis, tapi dipakai perusahaan untuk melemahkan posisi masyarakat adat. Sekarang pola itu diulang kembali lewat akademisi lokal,” kata Febriyan, Senin (29/9/2025).

Ia menegaskan, keberadaan masyarakat adat tidak bisa diukur dengan logika instan. “Kalau bicara antropologi, harus paham bahwa masyarakat adat bukanlah produk tambang.

Ada genealogis, ritual, bahasa, tanah ulayat, dan ingatan kolektif yang menjadi dasar eksistensi mereka. Menyebut Cek Bocek baru muncul setelah tambang, sama saja menghapus fakta sejarah,” ujarnya.

Menurut Febriyan, pernyataan akademisi Unsa lebih menyerupai tafsir kepentingan daripada analisis ilmiah. “Ini bukan antropologi, bukan sosiologi. Ini politisasi akademik,” tegasnya.

Pemetaan Wilayah Adat dan Pengakuan Formal

AMAN juga menjelaskan bahwa pemetaan wilayah adat Cek Bocek dilakukan sejak 2009 secara partisipatif dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Proses tersebut dituangkan dalam berita acara resmi, dan pada tahun 2010 wilayahnya tercatat secara administratif berada di Desa Lawin.

Berdasarkan catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), luas wilayah Cek Bocek mencapai lebih dari 28.000 hektare dengan struktur kepemimpinan, hukum adat, dan ritual yang masih dijalankan hingga kini.

“Prinsip yang kami pegang adalah self-determination. Komunitas mendefinisikan sendiri identitasnya sebagai masyarakat adat. AMAN hanya memverifikasi secara administratif agar sesuai dengan prinsip Pasal 18B UUD 1945,” jelas Febriyan.

BACA JUGA : Ulat Ditemukan di Makanan Program MBG di SMPN 1 Empang, Orang Tua Murid Khawatir

Bagi AMAN, strategi meragukan eksistensi masyarakat adat adalah pintu masuk untuk melemahkan perlawanan warga terhadap tambang. “Ini manajemen konflik gaya lama: pertama, ragukan keberadaan komunitas; kedua, pecah belah masyarakat; ketiga, kuasai ruang hidup mereka,” katanya.

Akademisi Unsa: Klaim Cek Bocek Buatan dan Sarat Kepentingan

Di sisi lain, Wakil Rektor II Universitas Samawa (Unsa), Muhammad Yamin, menegaskan bahwa klaim Cek Bocek tidak memiliki dasar historis yang jelas.

“Secara historis tidak pernah ada masyarakat adat bernama Cek Bocek. Mereka baru muncul saat tambang di Dodo Rinti dibuka. Itu fakta yang saya temukan,” tegasnya.

Menurut Yamin, kelompok ini menciptakan sejarah versi mereka sendiri. “Dari zaman kerajaan dulu sampai catatan migrasi masyarakat, tidak pernah ada nama Cek Bocek. Tidak semua warga Dodo Rinti merasa bagian dari kelompok itu,” katanya.

Lebih jauh, ia menuding kemunculan Cek Bocek dipicu provokasi pihak luar dengan iming-iming kompensasi besar dari perusahaan tambang. “Iming-imingnya hibah triliunan, bukan miliar. Itu yang membuat kelompok ini terbentuk,” ujarnya.

Yamin juga menegaskan bahwa Cek Bocek tidak memenuhi syarat sebagai masyarakat adat. Mereka, menurutnya, tidak memiliki struktur adat yang jelas, tanah ulayat, maupun peninggalan budaya.

“Saya sudah meneliti alur perpindahan masyarakat dari Dodo Rinti ke Lawin dan Ropang. Tidak ada struktur adat yang disebut Cek Bocek,” tambahnya.

BACA JUGA : Massa Aksi Bentangkan Kain Putih dan Lakukan Pembakaran di Kantor Perwakilan DPD RI NTB, Buntut Dugaan Suap Dua Senator

Klaim Pernah Ditolak DPRD

Yamin menyinggung upaya Cek Bocek untuk mendapat pengakuan hukum melalui rancangan Perda. Namun, usulan itu kandas setelah mayoritas desa menolak saat uji publik oleh DPRD Sumbawa. “Semua desa menolak. Itu fakta sejarahnya. Akhirnya rancangan Perda itu batal,” jelasnya.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *