GIRI MENANG, SIAR POST — Di tengah gelombang keresahan ribuan tenaga honorer non-database yang terancam kehilangan pekerjaan, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat justru membuat keputusan yang mengejutkan publik: menggelontorkan anggaran Rp 2,7 miliar untuk membeli 10 kendaraan dinas baru bagi para camat.
Langkah ini menuai kecaman keras dari berbagai kalangan, terutama aktivis dan pemerhati kebijakan publik yang menilai keputusan tersebut sebagai bentuk pemborosan anggaran dan bukti lemahnya kepekaan sosial pemerintah daerah.
Kritik Tajam dari Aktivis Sasaka Nusantara
Ketua DPD Sasaka Nusantara Kabupaten Lombok Barat, Sabri, Sabtu (8/11/2025) menyampaikan kritik pedas atas keputusan tersebut.
“Ini benar-benar keterlaluan! Saat 1.632 tenaga honorer berjuang mempertahankan nasib mereka, pemerintah malah pamer kekuasaan dengan membeli mobil baru. Apakah nurani pejabat sudah hilang? Apakah APBD ini untuk rakyat atau sekadar ajang gengsi birokrasi?” tegasnya.
Sabri menilai kebijakan ini menunjukkan kehilangan arah prioritas pembangunan daerah.
“Masih banyak masalah mendesak — dari hak honorer yang terancam, pelayanan publik yang menurun, hingga ekonomi masyarakat yang belum pulih. Tapi pemerintah lebih sibuk memanjakan pejabatnya. Ini bukan sekadar salah kebijakan, ini penghinaan terhadap logika kemanusiaan dan prinsip hukum,” ujarnya lagi.
Ia pun menegaskan bahwa DPD Sasaka Nusantara akan mengawal kasus ini hingga tuntas, termasuk meminta audit independen terhadap pengadaan kendaraan dinas serta mendorong evaluasi kebijakan APBD 2025.
Potensi Pelanggaran Hukum dan Tata Kelola Anggaran
Dari sisi hukum, kebijakan ini berpotensi menabrak sejumlah aturan penting, di antaranya:
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menekankan setiap pengeluaran harus berorientasi pada kepentingan masyarakat dan efisiensi penggunaan anggaran.
Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang mewajibkan proses tender dilakukan secara transparan dan sesuai prinsip akuntabilitas.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menegaskan larangan pemborosan anggaran publik.
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur bahwa setiap pejabat publik wajib mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Jika ditemukan penyimpangan, pengadaan kendaraan dinas tersebut dapat dikategorikan sebagai “pemborosan negara” (wasteful spending) yang berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum bagi pengambil keputusan.
Sabri bersama jajarannya menyampaikan empat tuntutan utama kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Barat:
- Audit independen terhadap proses pengadaan kendaraan dinas, mulai dari spesifikasi, harga, hingga mekanisme tender.
- Evaluasi ulang prioritas APBD 2025, agar lebih berpihak pada kesejahteraan honorer dan kebutuhan publik.
- Penyelamatan tenaga honorer non-database, sesuai amanat PP No. 49 Tahun 2018 dan kebijakan PPPK.
- Transparansi anggaran publik, agar masyarakat dapat memantau langsung penggunaan dana daerah secara terbuka.
“Jika tindakan seperti ini dibiarkan, bukan hanya kepercayaan publik yang runtuh, tapi nurani rakyat juga terus diinjak. Pemerintahan yang lebih peduli pada mobil dinas ketimbang nasib honorer adalah pemerintahan tanpa hati,” tutup Sabri dengan nada tegas.
Kebijakan ini kini menjadi bahan perbincangan hangat di masyarakat Lombok Barat. Banyak warganet menilai bahwa pemerintah daerah gagal membaca prioritas publik. Di tengah kesulitan ekonomi dan keresahan honorer, pembelian mobil dinas dianggap sebagai simbol ketimpangan yang mencolok antara birokrasi dan rakyat kecil.
Kini, publik menanti langkah nyata: apakah Bupati Lombok Barat akan tetap mempertahankan kebijakan Rp 2,7 miliar untuk roda kekuasaan, atau mengembalikannya demi roda kehidupan rakyat yang kian terhimpit.














