Kejati NTB Sebut Gubernur Tak Terlibat Kasus Dana Siluman, Pengamat: ‘Fee Pokir Justru Diinisiasi Eksekutif dan Ketua DPRD!’

MATARAM, SIAR POST – Pernyataan Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB), Wahyudi SH MH, mengenai belum adanya keterlibatan Gubernur NTB dan Ketua DPRD NTB dalam kasus dugaan gratifikasi dan fee Pokok Pikiran (Pokir) DPRD NTB, langsung menuai kritik tajam dari kalangan pemerhati kebijakan publik.

Dalam konferensi pers di kantor Kejati NTB, Selasa (9/12/2025), Wahyudi menegaskan bahwa penetapan tersangka dalam kasus ini dilakukan berdasarkan temuan nyata tim penyidik.

“Untuk kategori tersangka ini masih dalam kelompok pemberi. Kami berpegang pada fakta yang ditemukan penyidik,” jelasnya.

Wahyudi juga menepis dugaan keterlibatan eksekutif, termasuk Gubernur NTB, dalam aliran dana fee Pokir tahun 2024 tersebut.

“Dana itu tidak ada kaitan dengan APBD atau APBN. Kami sudah panggil pihak-pihak terkait. Tidak ada dana pemerintah yang mengalir dalam kasus ini,” tegasnya.

Pernyataan itu menjadi penegasan bahwa secara formal, Kejati NTB belum melihat adanya peran eksekutif sebagai penerima maupun pengendali dalam dugaan gratifikasi Pokir.

Namun, penjelasan Kajati ini justru memantik reaksi keras dari pengamat kebijakan publik.

Menanggapi pernyataan Kajati NTB, Hendri Salahuddin, Pengamat Kebijakan Publik NTB, menilai penjelasan tersebut tidak menjawab duduk perkara sebenarnya. Menurutnya, akar masalah dari kasus fee Pokir atau dana siluman ini berada pada pola relasi antara eksekutif, DPRD, dan pihak ketiga yang mengerjakan proyek.

“Kalau yang dijerat baru pemberinya, lalu penerimanya siapa? Fee Pokir itu berasal dari pihak ketiga yang mendapatkan proyek berdasarkan usulan Pokir anggota DPRD. Nah, sumber dananya justru dari eksekutif,” tegas Hendri.

Ia menyatakan, secara konsep, proyek yang menghasilkan fee tersebut berasal dari kebijakan dan persetujuan eksekutif. Karena itu, tidak mungkin eksekutif termasuk Gubernur bersih dari pusaran kasus.

“Eksekutif menginisiasi anggaran, eksekutif yang mengatur proyek. Fee itu muncul dari proyek. Berarti alurnya tetap berujung ke eksekutif. Penjelasan Kajati tidak menutup itu,” ungkapnya.

Tidak hanya Gubernur, Hendri juga menyebut bahwa Ketua DPRD NTB semestinya menjadi salah satu pihak yang paling diselidiki dalam kasus ini, sebab struktur pembagian fee sangat mungkin diketahui dan diatur dari level pimpinan.

“Ketua DPRD itu mustahil tidak tahu. Apalagi pola pembagiannya sudah menjadi kebiasaan. Jadi Ketua DPRD dan Gubernur itu seharusnya ikut diperiksa dan dijerat jika terbukti menerima atau menginisiasi,” kata Hendri.

Ia menyebut publik akan menunggu tiga tersangka yang telah ditahan untuk “bernyanyi” dan mengungkap siapa aktor yang sebenarnya berada di belakang aliran dana fee Pokir tersebut.

Hendri juga menyoroti bahwa sebagian besar pihak yang menerima dana fee sejatinya adalah anggota DPRD NTB sendiri.

“Yang menerima dana itu jelas anggota DPRD. Kalau pemberi dijerat, penerimanya juga wajib diproses. Ini bukan hal baru, ini kebiasaan bertahun-tahun,” ucapnya.

Ia mendesak aparat penegak hukum untuk berani menjerat seluruh anggota DPRD yang terbukti mengembalikan uang ataupun tercatat menerima fee tersebut.

Sementara itu, perkembangan terbaru menunjukkan penyidikan terus bergerak. Pada 24 November 2025, Kejati NTB menetapkan satu tersangka baru berinisial HK, yang sebelumnya diperiksa sebagai saksi.

Exit mobile version