banner 728x250

Trias Politica Yang Membetuk Kekuatan Politik Dinasti Indah Damayanti Putri

banner 120x600
banner 468x60

Penulis : Furkan Y.K, Kabid Aksi dan Advokasi IMBI Mataram.

MATARAM, SIARPOST | Fenomena dinasti politik yang melibatkan keluarga seperti Muhammad Putera Ferriandi (Dae Yandi) dan Indah Damayanti Putri (IDP) di Kabupaten Bima, Provinsi NTB, memang menarik perhatian. Dinasti politik ini tampak kuat dalam mencalonkan diri di berbagai posisi strategis, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

banner 325x300

IDP, yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati Bima, kini mengincar posisi sebagai wakil gubernur NTB. Langkah-langkah politik semacam ini kerap menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat dan mahasiswa, khususnya terkait persepsi tentang Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan distribusi kekuasaan yang tidak merata.

Apa yang menarik dari situasi ini adalah pola berulang di mana keluarga ini terus menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan, baik di eksekutif maupun legislatif, hingga memicu kekhawatiran akan kurangnya keterbukaan bagi figur-figur baru atau kompeten dari luar lingkaran keluarga.

Selain itu, dari perspektif masyarakat, cara mereka berusaha meraih dukungan publik dengan pendekatan yang dianggap merendahkan martabat masyarakat seperti penggambaran seolah “meminta sembako” menambah lapisan kritik terhadap mereka.

Bagi sebagian kalangan, hal ini mungkin terlihat sebagai bentuk manipulasi politik atau taktik populisme yang mengabaikan aspirasi publik untuk perubahan substansial dalam pemerintahan.

Trias politica yang seharusnya membentuk keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ketika didominasi oleh satu kelompok dinasti politik, justru dapat merusak tatanan demokrasi dan membawa dampak buruk bagi masyarakat.

Di Kabupaten Bima, dominasi politik oleh keluarga tertentu, seperti yang dilakukan oleh Indah Damayanti Putri dan Muhammad Putera Ferriandi, telah memunculkan berbagai masalah, termasuk potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Dalam situasi ini, pembagian kekuasaan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, karena kontrol dinasti yang terlalu kuat menyebabkan akuntabilitas politik dan pemerintahan yang sehat menjadi terhambat.

Selama bertahun-tahun, Bima berada di bawah kepemimpinan yang dikuasai oleh golongan yang sama, yang menimbulkan kesan bahwa kekuasaan terus-menerus dipertahankan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Mahasiswa dan masyarakat merasakan dampak dari hal ini dalam bentuk terbatasnya ruang untuk perubahan, pengabaian aspirasi mereka, dan perasaan ketidakadilan yang terus berlanjut.

Kekecewaan ini semakin mendalam karena jejak sejarah kepemimpinan dinasti ini dirasakan oleh banyak orang sebagai periode di mana aspirasi masyarakat, terutama mahasiswa yang vokal, sering kali diabaikan, bahkan diremehkan.

Reaksi mahasiswa dan masyarakat yang merasa diolok-olok dalam kepemimpinan sebelumnya masih tertanam kuat dalam ingatan mereka.

Hal ini menciptakan keengganan terhadap model kepemimpinan dinasti dan mendorong aspirasi untuk perubahan yang lebih demokratis, transparan, dan memberikan kesempatan bagi pemimpin baru yang mampu membawa perbaikan nyata bagi Bima.

Jika dinasti politik terus mendominasi, ruang bagi perbaikan dan reformasi politik menjadi semakin sempit, dan masyarakat Bima, khususnya generasi muda, akan semakin sulit merasakan perubahan yang substansial. (***)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *