MATARAM, SIARPOST | Eksistensi Dinasti istana yang dimotori oleh Indah Damayanti Puteri mencengkeram hampir semua sektor publik. Jabatan bupati direngkuhnya. Begitu pun ketua DPRD Bima. Lantas Dinda mengorbitkan putranya sebagai calon bupati 20024-2029.
Belum lagi menjadi ketua partai, mengangkat sekda Bima dari kerabatnya sendiri, juga beberapa kepala dinas dan jabatan lain hingga kontraktor juga masih kalangan keluarga.
Hal yang mencengangkan adalah pundi-pundi uang IDP/Dinda makin gemuk dan mumbul. Jumlahnya menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara kepada KPK tahun 2023 mencapai Rp 14,7 miliar.
Di satu sisi kemiskinan kian merajalela, hingga sejumlah keluarga ada yang makan sekali sehari karena tidak punya penghasilan.
BACA JUGA : Survei Terbaru Cagub-Cawagub NTB, OMI Tempatkan Zul-Uhel Unggul Dari Dua Paslon Lain
Nepotisme, penumpukan kekayaan dan dinasti yang menguat inilah yang membuat Ustadz H. Syamsudin Ahz meradang. “Ini sudah keterlaluan,” ujarnya, sudah waktunya dinasti Dinda diakhiri.
Kendati merupakan aparatur sipil negara, Ustadz Syamsudin tidak merasa takut menyuarakan kebenaran.
Kalau bupati Bima alpa dan lalai, kata pengasuh Ponpes Al Ikhlas Doridungga ini, saya berkewajiban mengingatkannya. Itu perintah agama, kata Ustadz.
Jika tidak, papar dai yang sudah memualafkan 47 orang Donggo di Mbawa, Tolonggeru, Nggeru Kopa ini, “saya berdosa.”
Ustadz juga mengkritisi penggunaan simbol-simbol lama istana untuk kepentingan politik. Sampai ada yang pihak yang kebablasan bilang, “Yandi itu ra’a ro peke ito doho weki ara Donggo. Yandi itu darah daging orang Donggo.”
“Itu tidak benar,” ujar Ustad. Mengutip sejarawan Muslimin Hamzah, Ustadz Syamsudin bilang, tidak ada hubungan biologis raja-raja Bima dengan orang Donggo. Kalau hubungan historis ada, yakni pasukan Kerajaan Bima ikut menggempur Donggo dalam Perang Kala (1907-1909).
BACA JUGA : Harus Ada Perubahan Mendasar di Bima
Perang itu meletus akibat penarikan pajak yang sangat besar pada masyarakat atas perintah Belanda. Kebijakan tersebut direstui sultan Bima, ujar Ustadz Syamsudin.
Daya kritis Ustadz Syamsuddin terbilang sangat berani dan gamblang untuk seorang ASN. Dai yang berdomisili di Doridungga ini bilang ada dimensi yang mempengaruhinya ujar dia.
Hal yang utama adalah perintah Allah dalam Alquran Surat Al Ashr ayat 3 yakni “illallajina amanu wa’amilus saali haati wa tawashaw bil haqqi wa tawashaw bis sabar. Artinya, “kecuali orang-orang yang berimqn dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kesabaran.”
Ustadz Syamsudin juga merasa ada ikatan kuat dengan para pejuang Donggo, utamanya dalam Peristiwa Donggo 1972. Mereka mengajarkan untuk mengatakan yang benar itubenar, yang salah itu salah.
Seperti diketahui ayahandanya, Ahmad Zein adalah pelaku Peristiwa Donggo. Dus, dalam diri Ustadz muda iniada percikan fighting spirit atau jiwa juang dari ayahandanya serta para pejuang Donggo kala itu.
Kata Ustadz Syamsudin, “saya tidak berani membabi buta”. Itu konyol, ujarnya, tapi segala sesuatu harus disampaikan dengan narasi yang jelas dan bukti-bukti.
Sebagai sosok yang lahir dari komunitas suku asli, Ustadz Syamsudin merasa adalah sebuah keharusan memberikan kesempatan dan ruang padanya untuk memperbaiki daerah yakni Bima sebagai tumpah darahnya.
Dalam pandangan Ustadz, ada dimensi mistik dari dirinya yang lahir dari rahim Donggo. Dengan demikian Ustadz mengaku tidak sekadar mengumbar nafsu untuk tampil ke permukaan dalam menyuarakan kebenaran.
Katanya semuanya terukur, dituntut oleh kebenaran agama dan adat serta pesan-pesan moral leluhurnya. (Obima)