OPINI : Melawan Politik Uang di Pilkada NTB, Wujudkan Demokrasi Bermartabat
Oleh : PIMDA-JOGLO ( PERHIMPUNAN INTELEKTUAL MUDA JOGJA-LOMBOK )
SIARPOST | Politik uang adalah musuh dalam selimut demokrasi. Dalam setiap kontestasi politik, ia hadir sebagai ancaman laten yang melemahkan legitimasi pemimpin terpilih, merusak moralitas masyarakat, dan menciptakan siklus korupsi yang sulit dihentikan.
Dalam konteks Pilkada Nusa Tenggara Barat (NTB), fenomena ini menjadi tantangan serius yang harus dihadapi jika daerah ini ingin bergerak menuju tata kelola pemerintahan yang bersih dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Politik Uang: Anatomi dan Bahayanya
Secara konseptual, politik uang dapat dipahami melalui teori political patronage, di mana hubungan antara pemilih dan kandidat terdistorsi menjadi transaksi berbasis materi.
Hal ini mengikis esensi demokrasi deliberatif yang mengutamakan pemilihan berdasarkan visi, misi, dan kompetensi kandidat.
Di NTB, politik uang telah menciptakan tiga efek destruktif utama:
Kepemimpinan Transaksional:
Calon kepala daerah yang mengandalkan politik uang cenderung berorientasi pada kepentingan balik modal politik daripada pengabdian kepada rakyat.
Pola ini memicu praktik favoritisme dalam alokasi anggaran, seperti pengutamaan proyek yang menguntungkan kelompok tertentu, bukan masyarakat luas.
Erosi Partisipasi Publik:
Politik uang membuat pemilih apatis terhadap nilai-nilai demokrasi. Ketika suara mereka dianggap sekadar alat jual beli, mereka kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemilu untuk membawa perubahan.
Akibatnya, tingkat partisipasi aktif dalam pemilu menurun, sementara perilaku pragmatis semakin menguat.
Korupsi Berbasis Kebijakan:
Pemimpin yang lahir dari praktik politik uang memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan proyek-proyek bernilai ekonomis tinggi demi mengakomodasi kepentingan sponsor politik mereka.
Akibatnya, kebijakan strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat sering kali terabaikan.
Pilkada NTB: Antara Potensi dan Perangkap
NTB memiliki potensi besar untuk berkembang sebagai daerah dengan tata kelola yang unggul, didukung oleh sumber daya alam dan manusia yang melimpah.
Sebagai destinasi pariwisata unggulan, NTB memiliki daya tarik global, terutama dengan ikon wisatanya seperti Mandalika dan Rinjani. Namun, jika Pilkada terus didominasi oleh praktik politik uang, potensi ini hanya akan menjadi narasi kosong.
Politik uang di NTB tidak hanya melibatkan aktor-aktor lokal, tetapi juga jaringan patronase yang lebih luas, termasuk elite politik nasional. Dalam konteks ini, pilkada bukan lagi kompetisi gagasan, tetapi ajang kapitalisasi suara rakyat. Hal ini sangat berbahaya karena:
Mengurangi daya tawar masyarakat: Masyarakat yang terbiasa dengan iming-iming materi cenderung mengabaikan kualitas kandidat, sehingga sulit bagi calon pemimpin yang kompeten tetapi tidak memiliki modal besar untuk bersaing.
Memperbesar ketergantungan pemimpin pada oligarki: Pemimpin yang berutang budi pada sponsor kampanye lebih terikat pada kepentingan oligarki ekonomi daripada kebutuhan masyarakat.
Dampaknya, kebijakan yang dihasilkan tidak hanya lemah secara substansi, tetapi juga cenderung membebani masyarakat, misalnya melalui pajak tambahan atau pemotongan anggaran sosial demi membiayai proyek yang bersifat simbolis.
Mengapa Politik Uang Sulit Dilawan?
Ada beberapa alasan mengapa politik uang terus bertahan meskipun sudah jelas dampaknya:
Pragmatisme Pemilih:
Banyak masyarakat, terutama di pedesaan, melihat politik uang sebagai kompensasi langsung yang dapat membantu kebutuhan harian mereka. Dalam kondisi ekonomi yang lemah, bantuan material dari kandidat sering kali dianggap lebih nyata daripada janji-janji kampanye.
Ketidakmampuan Pengawasan:
Penegakan hukum atas kasus politik uang masih lemah. Lembaga pengawas seperti Bawaslu sering kali kekurangan sumber daya dan wewenang untuk menindak pelanggaran secara efektif.
Minimnya Edukasi Politik:
Rendahnya literasi politik masyarakat membuat mereka sulit memahami dampak jangka panjang dari memilih pemimpin berdasarkan uang. Hal ini diperparah oleh kurangnya inisiatif dari pihak pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk menyelenggarakan pendidikan politik yang masif.
Strategi Akademis Melawan Politik Uang
Melawan politik uang membutuhkan pendekatan sistemik dan strategis yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan akademisi. Berdasarkan kajian akademis, beberapa langkah penting dapat diambil:
1. Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum
Undang-Undang Pilkada dan UU Pemilu sudah mengatur larangan politik uang, tetapi implementasinya masih lemah.
Penegakan hukum yang tegas diperlukan, dengan langkah-langkah seperti:
Digitalisasi pelaporan pelanggaran:Memanfaatkan teknologi untuk mempermudah masyarakat melaporkan kasus politik uang.
Peningkatan transparansi dana kampanye: Setiap aliran dana yang digunakan kandidat harus tercatat dan diaudit secara independen.
2. Edukasi Politik Berbasis Komunitas
Edukasi politik harus dilakukan secara masif, terutama di kalangan masyarakat pedesaan yang sering menjadi target politik uang.
Program literasi politik yang melibatkan tokoh masyarakat, organisasi agama, dan sekolah-sekolah dapat membantu menyadarkan pemilih akan pentingnya memilih berdasarkan kualitas kandidat.
3. Peran Generasi Muda dan Kampus
Mahasiswa dan akademisi NTB memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi katalis perubahan. Kampus bisa menjadi ruang dialektika politik yang kritis dengan menyelenggarakan diskusi, seminar, dan penelitian terkait politik uang.
Selain itu, generasi muda dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan narasi positif tentang demokrasi yang bersih.
4. Sanksi Sosial dan Moral
Budaya lokal NTB yang menjunjung nilai kejujuran dan kehormatan harus dimanfaatkan untuk menciptakan sanksi sosial bagi pelaku politik uang.
Kolaborasi dengan tokoh agama dan adat sangat penting untuk memperkuat gerakan ini. Sebagai contoh, fatwa ulama atau deklarasi adat tentang haramnya politik uang dapat menjadi pengaruh kuat dalam membangun kesadaran kolektif.
Dari NTB untuk Demokrasi Indonesia
Pilkada NTB bukan sekadar ajang lokal, tetapi juga cerminan kesehatan demokrasi di tingkat nasional. Jika NTB berhasil melawan politik uang, ia dapat menjadi model bagi provinsi lain yang menghadapi masalah serupa.
Perjuangan melawan politik uang membutuhkan keberanian dan ketekunan. Masyarakat NTB harus menyadari bahwa menolak politik uang bukan hanya tentang menolak amplop, tetapi juga tentang melindungi hak mereka untuk mendapatkan pemimpin yang kompeten, jujur, dan bertanggung jawab.
Jika NTB berhasil mewujudkan pilkada yang bersih, hal ini akan menjadi tonggak penting bagi demokrasi Indonesia. Upaya ini juga akan mengembalikan kepercayaan publik pada proses politik dan menciptakan pemerintahan yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
Masa depan NTB ada di tangan masyarakatnya. Apakah NTB akan menjadi pionir perubahan atau terjebak dalam lingkaran pragmatisme politik? Pilihan ini ada di tangan kita semua. Mari bersatu untuk melawan politik uang, demi masa depan NTB yang lebih bermartabat dan demokrasi Indonesia yang lebih kuat.***