Pemecatan Staf BPR NTB di Dompu Langgar Prosedur: Eks Ketua Tim Hukum Iqbal-Dinda Minta Direksi Dicopot 

 

 

Mataram, SIAR POST – Keputusan PT BPR NTB Perseroda memecat dua staf senior di Cabang Soriutu, Dompu, yakni Pimpinan Cabang dan Penyelia Penyelamat, menuai polemik dan mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.

Tak hanya masyarakat, sejumlah tokoh penting hingga pejabat daerah turut angkat bicara, mempertanyakan keabsahan prosedur dan motif di balik pemecatan tersebut.

Salah satu suara paling vokal datang dari Muhammad Ihwan, SH., MH., atau yang lebih dikenal sebagai Iwan Slenk, pengacara senior sekaligus tokoh yang dikenal kritis terhadap isu hukum dan sosial di NTB.

BACA JUGA : Modus Ruqyah, Pegawai LPPM Unram Perkosa Mahasiswi KKN hingga Hamil: Terungkap Setelah Anak Lahir

Ia menyampaikan kecaman keras terhadap keputusan Direksi PT BPR NTB Perseroda yang dinilai sewenang-wenang dalam memecat dua staf senior di Cabang Soriutu, Dompu.

Sebagai mantan Ketua Tim Hukum pasangan LMI–Dinda dan juga seorang pengamat perbankan daerah, Iwan menilai keputusan itu tidak hanya cacat secara prosedural, tapi juga mencerminkan kegagalan manajemen dalam menjunjung prinsip keadilan dan profesionalisme.

“Yang saya soroti, ini bukan hanya soal dua orang staf yang diberhentikan, tapi soal sistem dan kepemimpinan di tubuh BPR NTB yang amburadul. Pemecatan itu dilakukan tanpa tahapan peringatan apa pun — tidak ada SP1, SP2, SP3. Langsung diberhentikan, padahal mereka sudah mengabdi puluhan tahun. Ini arogansi,” ujarnya.

Menurut Iwan, staf yang diberhentikan justru sudah menunjukkan loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap perusahaan. Bahkan dalam kasus yang menyeret 12 orang, hanya dua yang dijadikan tumbal.

Hal ini memperkuat dugaan bahwa keputusan tersebut sarat kepentingan pribadi dan tidak dilakukan secara objektif.

“Kalau memang ada pelanggaran, proseslah semua yang terlibat. Jangan pilih kasih. Jangan hanya dua orang dijadikan korban, sementara yang lain aman-aman saja. Ini cacat etika dan hukum,” tegasnya.

Iwan juga mengungkapkan adanya praktik nepotisme dan penyalahgunaan wewenang di tubuh direksi BPR NTB.

Ia menuding bahwa ada pengangkatan kerabat dan keluarga dekat ke dalam posisi strategis tanpa melalui prosedur rekrutmen yang transparan.

BACA JUGA : Wagub NTB Angkat Bicara, Pemecatan Staf BPR NTB Cabang Soriutu Diduga Langgar Prosedur

“Ada dugaan direksi mengangkat keponakan dan keluarganya sendiri sebagai staf. Ini jelas melanggar prinsip good governance. Dunia perbankan itu harus bersih dan profesional. Kalau ini dibiarkan, bagaimana BPR bisa dipercaya masyarakat?”

Tak hanya itu, Iwan juga menyoroti aktivitas perjalanan dinas yang dinilainya tidak efisien dan terkesan hanya menghamburkan uang perusahaan.

“Perlu audit total. Banyak perjalanan dinas yang diduga tidak relevan dengan tugas pokok. Bahkan ada yang bawa anak, bawa istri. Ini lembaga keuangan milik daerah, bukan perusahaan keluarga!”

Lebih jauh, Iwan menyebut bahwa saat ini BPR NTB ibarat badan hukum yang berjalan tanpa arah. Ia menyebut manajemen saat ini gagal memberi terobosan yang mampu meningkatkan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“BPR ini seperti autopilot. Tidak ada program inovatif, tidak ada strategi yang mampu mendongkrak ekonomi daerah. Kalau begini terus, untuk apa ada direksi? Mending diganti semuanya. NTB butuh orang-orang yang bisa menyalakan semangat baru dan membawa perubahan nyata.”

 




Iwan pun mendesak Gubernur NTB dan DPRD untuk segera mengambil tindakan tegas, mengevaluasi total kepemimpinan BPR NTB, dan mengganti seluruh jajaran direksi.

“Saya mendorong agar seluruh direksi dicopot. Ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi soal kegagalan dalam menjalankan amanah publik. BUMD seperti BPR NTB harus menjadi instrumen penggerak ekonomi daerah, bukan jadi tempat titipan kekuasaan.”

Wakil Gubernur NTB Akan Lakukan Evaluasi

Wakil Gubernur NTB, Hj. Indah Dhamayanti Putri, yang menyatakan akan menindaklanjuti dugaan pelanggaran prosedur tersebut.

Saat ditemui usai acara Halal Bihalal Rukun Keluarga Dompu (RKD) di UIN Mataram, Minggu (20/4/2025), ia mengatakan bahwa perlu ada verifikasi mendalam atas keputusan pemecatan yang telah dikeluarkan.

“Biasanya pemecatan dilakukan setelah ada surat peringatan atau pelanggaran sebelumnya. Tapi kalau ini memang langsung diberhentikan, kita akan cek prosesnya,” ujarnya.

BACA JUGA : Baru Sebentar Menjabat, Kapolres Sumbawa Dikabarkan Dimutasi? Ini Kata Polda NTB!

Lembaga Transparansi NTB: Ada Ketidakadilan dan Krisis Kepemimpinan

Ketua Lembaga Gerakan Transparansi dan Advokasi NTB, Suryansyah, menyebut pemecatan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan yang mengarah pada disharmoni internal di tubuh BPR NTB.

“Ini bukan hanya soal administratif. Ini soal etika kepemimpinan. Kalau benar 12 staf terlibat, maka semua harus diproses, bukan hanya dua orang. Ini keputusan yang tidak bermartabat,” kata Suryansyah.

Ia juga mendesak Gubernur NTB untuk mengevaluasi kepemimpinan Direktur Utama BPR NTB, Ketut Sudarmana, dan meninjau ulang SK Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Nomor 734 Tahun 2025.

 




Dugaan Praktik Suap atau Kesepakatan Internal?

Dari informasi yang dihimpun, pemecatan dua staf ini diduga terkait penerimaan dana tambahan dari nasabah yang sedang mengurus pelunasan kredit macet. Dalam prosesnya, nasabah hanya mampu membayar Rp20 juta dari total tunggakan Rp46 juta.

Setelah disetujui oleh kantor pusat, terdapat tambahan dana Rp5 juta yang disepakati secara internal dan dibagi ke 12 staf.

Namun, hanya dua orang yang dikenai sanksi pemecatan. Salah satunya, Edi Suryadi, mengungkap bahwa tidak ada kerugian nasabah, dan uang tambahan itu bahkan sempat tercatat dalam pos pendapatan perusahaan sebelum akhirnya dikembalikan ke rekening nasabah.

“Nasabah bahkan membuat surat pernyataan tidak keberatan di hadapan notaris. Kalau ini pelanggaran, kenapa hanya kami berdua yang dihukum?” ujar Edi yang kini mempertimbangkan jalur hukum.

Lebih mengejutkan, Edi mengaku tidak pernah menerima teguran secara resmi sebelum diberhentikan. Ia menilai keputusan ini sangat tidak adil dan mencederai prinsip keadilan dalam dunia kerja.

BPR NTB Belum Beri Keterangan Resmi

Hingga berita ini diturunkan, Direktur Utama BPR NTB, Ketut Sudarmana, belum memberikan klarifikasi resmi. Ia hanya menyatakan bahwa pihaknya masih melakukan koordinasi dengan tim legal dan Biro Ekonomi Setda NTB.

Catatan Redaksi:

Kasus ini mencerminkan pentingnya profesionalisme dan transparansi dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Di tengah tantangan ekonomi dan upaya penguatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), lembaga seperti BPR NTB seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan, bukan sumber polemik akibat kebijakan yang tidak adil dan tidak transparan.

Pewarta: Edo MH
Redaktur: Feryal

Exit mobile version