banner 728x250

BKSDA NTB Finalisasi Peta Jalan Konservasi Kakatua Kecil Jambul Kuning, Jadi Contoh Nasional

banner 120x600
banner 468x60

Peserta Rapat konsultasi Publik Akhir : Dokumen Peta Jalan Konservasi Kakatua Kecil Jambul-Kuning di Taman Nasional Moyo Satonda yang digelar di Hotel Lombok Raya, Rabu (18/6/2025). Foto Istimewa

Mataram, SIAR POST – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) NTB resmi menggelar Konsultasi Publik Akhir untuk finalisasi dokumen Peta Jalan Konservasi Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang berhabitat di Taman Nasional Moyo-Satonda.

banner 325x300



Kepala BKSDA NTB, Budhy Kurniawan, menyatakan bahwa dokumen ini akan menjadi acuan bersama lintas sektor dalam upaya pelestarian spesies yang kini masuk daftar Critically Endangered atau sangat terancam punah.

Kepala BKSDA NTB, Budhy Kurniawan (kanan) dan Guru Besar Ekologi dan Biosistematika FMIPA Unram, Prof. Wayan Suana (kiri). 

“Ini tahapan terakhir. Dalam satu minggu ke depan, dokumen akan kami finalkan, sahkan, dan segera implementasikan. Ini adalah dokumen hidup, jadi sangat terbuka untuk penyempurnaan di masa mendatang,” ujarnya saat ditemui di Hotel Lombok Raya, Rabu (18/6).



 

Budhy menekankan bahwa konservasi keanekaragaman hayati tidak hanya terbatas di kawasan hutan. Burung kakatua, misalnya, sering bersarang di kebun-kebun masyarakat.

Untuk itu, pihaknya merujuk pada UU No. 5/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya yang kini mengenalkan konsep Area Reformasi Transportasi—wilayah di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai penting bagi pelestarian.

BACA JUGA : Polisi Grebek Rumah Warga di Bima Salah Sasaran, Bandar Sabu Malah Kabur: Pemuda Bakal Gugat ke Polda

“Kami tengah menyusun mekanisme kompensasi atau insentif bagi masyarakat yang secara sukarela mengalokasikan lahannya untuk konservasi,” tambah Budhy. Dua desa yang akan menjadi pilot project adalah Sebotok dan Labuan Aji di Pulau Moyo.



 

Pulau Moyo bukan hanya rumah bagi Kakatua Kecil Jambul Kuning, tetapi juga habitat dari:

– 52 jenis burung, termasuk 2 spesies terancam punah: Kakatua Kecil Jambul Kuning dan Elang Flores

– 10 spesies mamalia, 2 di antaranya masuk kategori langka

– 233 jenis flora, termasuk 85 jenis pohon

– 230 jenis ikan karang, 45 genus terumbu keras, dan 16 jenis reptil

Dengan kekayaan ini, kawasan Moyo-Satonda direkomendasikan menjadi bagian dari Important Bird Area (IBA)—kawasan penting untuk pelestarian burung secara global.



Peran Masyarakat dan Kakaktua Ranger

Sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat lokal, BKSDA NTB telah membentuk komunitas Kakaktua Ranger. Komunitas ini terdiri dari warga Pulau Moyo yang dilatih untuk memantau, menjaga, dan melaporkan aktivitas mencurigakan yang dapat membahayakan kelestarian burung dan habitatnya.

BACA JUGA : Galian C Ilegal Merajalela di Sumbawa Barat, Polda NTB dan ESDM Didesak Bertindak Tegas: Ini Kata Kapolres

Guru Besar Ekologi dan Biosistematika FMIPA Unram, Prof. Wayan Suana, yang menjadi tenaga ahli penyusun peta jalan ini menyebut dokumen ini disusun berdasarkan data lapangan, arahan pusat, serta masukan dari lintas sektor termasuk TNI, Polri, dan pelaku pariwisata.

“Tujuan utamanya adalah meningkatkan populasi Kakatua Kecil Jambul Kuning minimal 10% dalam lima tahun. Tapi kalau semua program terimplementasi dengan baik, saya yakin bisa lebih dari itu,” ujarnya.



Prof. Wayan menegaskan bahwa ancaman utama bagi kakatua adalah perburuan ilegal dan perusakan habitat. Oleh karena itu, edukasi masyarakat menjadi kunci utama keberhasilan program.

“Burung ini bukan hanya warisan hayati, tapi punya potensi besar untuk ekowisata eksklusif seperti birdwatching. Banyak wisatawan elit bahkan bangsawan asing yang datang khusus untuk melihat spesies ini,” katanya.

BACA JUGA : Taman Nasional Pulau Moyo: Kolaborasi BKSDA dan Warga Lokal Jadi Model Konservasi Baru

Model Konservasi Nasional dari NTB

Dokumen peta jalan yang digarap selama satu tahun terakhir ini diharapkan tidak hanya menjadi pedoman di NTB, tetapi juga menjadi model konservasi nasional.

Pemerintah pusat disebut sangat mendukung dan menunggu finalisasi agar segera diterapkan sebagai acuan nasional.

“Tanpa dokumen ini, aksi konservasi akan seperti berjalan tanpa peta. Dengan peta jalan ini, kita bisa bergerak lebih terarah dan berdampak nyata,” pungkas Prof Wayan.

Redaksi____

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *