Tim Kuasa Hukum dari MES Law Office & Partners saat sidang praperadilan di PN Mataram. Foto Istimewa
/Akan Laporkan Hakim Jika Ada Dugaan Pelanggaran Etik
Mataram, SIAR POST — Pengadilan Negeri (PN) Mataram resmi menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Sudirman, mantan Kepala Desa Sekongkang Bawah, Kabupaten Sumbawa Barat, terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumbawa Barat.
Putusan yang dibacakan Selasa (24/6/2025) itu langsung menuai kritik tajam dari kuasa hukum Sudirman yang menilai hakim mengabaikan banyak fakta penting dalam persidangan.
Bukan saja itu, sidang pembacaan putusan yang dijadwalkan sejak siang hari, namun baru dibacakan pada malam pukul 19.10 WITA.
BACA JUGA : Bupati KSB Resmi Dilaporkan Ke Polda NTB, Atas Dugaan Mafia Tanah
“Kami cukup kaget dengan putusan ini. Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, termasuk alat bukti, keterangan saksi, dan pendapat ahli,” ujar Muh. Erry Satriyawan, SH, MH, CPCLE, kuasa hukum Sudirman dari MES Law Office & Partners.
Menurut Erry, ada sejumlah pelanggaran prosedur yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam putusan ini.
Pelanggaran itu di antaranya, kliennya tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau calon tersangka, serta tidak ada audit resmi terkait dugaan kerugian negara.
“Ini sangat bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015, yang mewajibkan SPDP diberikan kepada terlapor dalam waktu 7 hari. Juga Putusan MK No. 21/PUU/XII/2014 yang menyatakan pemeriksaan calon tersangka wajib dilakukan sebelum penetapan tersangka,” paparnya.
Lebih lanjut, ahli pidana dari Universitas Mataram yang dihadirkan dalam sidang sebelumnya menyatakan bahwa kasus ini tidak memiliki unsur kerugian negara karena belum ada audit resmi dari BPK maupun BPKP.
Hal ini memperkuat argumentasi bahwa penetapan tersangka terhadap Sudirman tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Tanah Warisan Dijadikan Objek Korupsi
Erry juga menegaskan bahwa tanah yang menjadi objek perkara adalah milik pribadi Sudirman dan istrinya, sebagian merupakan warisan dan sebagian dibeli secara sah.
Bahkan, Kepala Kantor Pertanahan Sumbawa Barat, Dick Atmawijaya, telah membenarkan bahwa seluruh sertifikat tanah terbit sesuai prosedur dan tidak pernah disengketakan.
Namun Kejaksaan tetap menyita 13 bidang tanah milik Sudirman dan istrinya, padahal belum ada putusan yang menyatakan tanah tersebut terkait tindak pidana.
Mafia Tanah Tanpa Jaringan?
Kuasa hukum juga mempertanyakan narasi “mafia tanah” yang digunakan Jaksa dalam konstruksi hukum perkara ini.
Erry menyebut, istilah mafia tanah semestinya melibatkan unsur kelompok atau jaringan yang terorganisir, bukan hanya satu orang.
“Kalau hanya satu orang dijerat dan tidak ada bukti kerugian negara, lalu di mana unsur mafia dan tindak pidananya?” tegasnya.
BACA JUGA : Pemilik Biliar di Mataram Geram: Diduga Dipalak Oknum POBSI, Fun Match Diancam Batal
Kasus Lama Diungkit, Pemeriksaan Baru Tak Pernah Ada
Fakta lain yang mencuat adalah Sudirman saat ini sedang menjalani hukuman dalam perkara serupa yang telah inkrah. Namun dalam kasus yang baru, ia kembali dijadikan tersangka tanpa pernah diperiksa—baik sebagai saksi maupun calon tersangka.
“Ini bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip due process of law. Bagaimana mungkin seseorang ditetapkan sebagai tersangka dua kali atas substansi yang mirip tanpa pernah diperiksa dalam perkara baru?” kritik Erry.
Akan Laporkan Hakim Jika Ada Dugaan Pelanggaran Etik
Erry menyatakan pihaknya tengah mengkaji kemungkinan menempuh langkah lanjutan, termasuk melaporkan hakim praperadilan ke Komisi Yudisial jika ditemukan indikasi pelanggaran etik atau ketidakprofesionalan dalam memutus perkara.
“Kami akan pelajari salinan putusan begitu kami terima. Tidak menutup kemungkinan akan ada laporan jika ditemukan ketidakadilan yang mencederai integritas peradilan,” pungkasnya.
Hakim Tak Gunakan Mikrofon, Sidang Sulit Didengar Pengunjung
Sejumlah pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Mataram mengeluhkan jalannya persidangan yang kurang terdengar jelas karena hakim tidak menggunakan mikrofon, Selasa (25/6/2025).
Pantauan di ruang sidang, suara hakim kerap tidak terdengar terutama saat pembacaan pertimbangan hukum. Salah satu pengunjung, Yuni Bourhany, mengaku kesulitan mengikuti jalannya sidang.
“Kami tidak bisa mendengar jelas apa yang disampaikan hakim. Padahal ini sidang terbuka untuk umum,” ujarnya.
Secara umum, penggunaan mikrofon dalam sidang tidak diatur secara eksplisit dalam hukum acara, namun menjadi bagian dari tata kelola pengadilan modern yang mengutamakan transparansi dan akses publik.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Humas Pengadilan Negeri Mataram belum memberikan keterangan resmi terkait keluhan tersebut.
Catatan Redaksi:
Kasus ini menjadi sorotan karena berpotensi membuka ruang diskusi luas tentang penyalahgunaan kewenangan, prosedur penetapan tersangka, dan praktik-praktik yang merugikan hak hukum warga negara.
Apakah praperadilan benar-benar menjadi kontrol terhadap tindakan aparat? Atau justru menjadi formalitas yang sulit menjangkau keadilan substantif?
Redaksi__