Lombok Barat, SIAR POST – Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali menyoroti persoalan klasik yang tak kunjung tuntas: kekurangan volume pekerjaan dan kelebihan pembayaran proyek fisik di Kabupaten Lombok Barat.
Masalah ini bukan kali pertama terjadi, bahkan nyaris menjadi “agenda tahunan” dalam laporan audit keuangan daerah.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPD Tahun 2024, BPK mencatat kelebihan pembayaran hingga Rp373 juta lebih atas 17 paket pekerjaan dari tiga SKPD: Dinas PUPR, Dinas Kesehatan, dan Dinas Kelautan. Penyebabnya masih sama: volume pekerjaan tidak sesuai kontrak, tapi dibayar penuh seolah pekerjaan telah selesai 100 persen.
BACA JUGA : Bongkar! Kelebihan Bayar Proyek Ratusan Juta di Lombok Barat, BPK Temukan 17 Pekerjaan Bermasalah
Lebih miris lagi, temuan serupa juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Seolah tak ada perbaikan sistematis, modus kekurangan volume dan overpayment ini terus berulang dengan pola yang sama.
Padahal, secara regulasi, praktik ini bertentangan langsung dengan:
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (jo. Perpres 12 Tahun 2021):
Pasal 7 ayat (1) huruf f: mewajibkan semua pihak untuk menghindari pemborosan dan kebocoran keuangan negara.
Pasal 78 ayat (3): menyebutkan bahwa penyedia yang melakukan penyimpangan atas hasil pekerjaan dikenai sanksi ganti rugi.
Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 12 Tahun 2021, khususnya angka 7.13 huruf b, mengatur bahwa:
Pembayaran hanya dilakukan terhadap pekerjaan yang sudah terpasang, tidak termasuk bahan/material dan peralatan yang ada di lokasi pekerjaan.
BACA JUGA : Pejabat Lombok Barat Habiskan Rp283 Juta Untuk Bayar Taksi: Bukti Rill Tak Ada, Uang Jalan Lenyap?
Namun sayangnya, banyak proyek fisik justru dibayar lunas meskipun pekerjaan belum sepenuhnya sesuai gambar dan volume kontrak. Akibatnya, negara atau daerah harus menanggung kerugian karena uang sudah keluar, tapi barang/jasa belum utuh diterima.
BPK dalam laporannya juga menyayangkan lemahnya pengawasan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), konsultan pengawas, dan pejabat pengguna anggaran (PA/KPA).
Kurangnya verifikasi lapangan secara fisik dan administrasi membuat celah penyimpangan ini terus terbuka.
Ujungnya Selalu Sama: “Dikembalikan ke Kas Daerah”
Sebagian kelebihan bayar memang telah disetor kembali ke kas daerah. Dalam kasus 2024 ini, sekitar Rp306 juta telah dikembalikan, tetapi masih tersisa Rp66 juta lebih yang belum jelas nasibnya. Namun pertanyaannya: Apakah hanya mengembalikan cukup tanpa ada sanksi?
BACA JUGA : Merajalela! Galian C Ilegal di KSB Dibongkar: Ini Rincian Lokasi, dan Bungkamnya Aparat Serta Asosiasi
Catatan Kritis:
Jika pola seperti ini terus dibiarkan, maka: