Mataram, SIARPOST – Misteri kematian Juliana Marins (26), wisatawan asal Brasil di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB), kini bukan lagi sekadar kasus kecelakaan pendakian.
Setelah jenazahnya dipulangkan dan dilakukan otopsi ulang di Brasil, keluarga Marins bersiap membawa kasus ini ke ranah hukum, baik nasional maupun internasional. Lalu, siapa sebenarnya yang akan digugat?
Juliana dilaporkan terjatuh di kawasan Plawangan Sembalun pada 21 Juni 2025. Meski sempat dikabarkan hilang, jasadnya ditemukan beberapa jam kemudian dan divisum di Bali.
Hasil awal menyebutkan ia meninggal karena benturan keras, tanpa tanda hipotermia. Namun keluarga menilai penjelasan itu tidak memadai dan penuh kejanggalan.
BACA JUGA : Geger di Bima! Suami Grebek Istri Berstatus ASN Bersama Pria Lain, Lapor Polisi soal Dugaan Persetubuhan
Jenazah kemudian dibawa ke Institut Medis Hukum Amaniopesito di Rio de Janeiro untuk otopsi ulang.
Hasil awal dari Brasil, menurut media lokal, mengindikasikan kemungkinan adanya keterlambatan penanganan darurat yang bisa memperparah kondisi Juliana.
Ancaman Gugatan dan Jalur HAM Internasional
Pemerintah Brasil melalui Kantor Pembela Umum Federal telah meminta penyelidikan mendalam dan tidak menutup kemungkinan menggugat pihak yang dianggap lalai.
Jika terbukti adanya pelanggaran prosedur, Brasil mengancam membawa kasus ini ke Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR)—lembaga regional di bawah naungan OAS yang kerap menangani kasus warga negara yang meninggal di luar negeri karena dugaan kelalaian otoritas lokal.
Sejumlah pihak yang kemungkinan menjadi sasaran gugatan antara lain:
Pemerintah Indonesia, jika dianggap lalai dalam menyediakan sistem keselamatan yang layak di kawasan wisata.
Pemerintah Provinsi NTB, sebagai otoritas daerah yang bertanggung jawab terhadap koordinasi pariwisata dan mitigasi risiko di Gunung Rinjani.
Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), jika dinilai tidak menerapkan protokol keselamatan dan evakuasi yang memadai.
Operator wisata atau pemandu lokal, jika ditemukan indikasi kelalaian teknis dalam pendampingan dan pertolongan pertama.
Kasus Serupa: Ketika Wisata Berujung Gugatan
Kasus Juliana bukan yang pertama. Beberapa kejadian wisatawan asing meninggal di Indonesia juga pernah berujung tekanan hukum dan diplomatik:
Eleanor Hawkins (UK), pendaki yang ditahan di Sabah, Malaysia, pada 2015 karena dianggap tidak menghormati gunung suci Kinabalu. Kasusnya memicu ketegangan diplomatik dan gugatan ke pengadilan lokal.
Luca Tombini (Italia), wisatawan yang tenggelam di Bali pada 2019. Keluarga menggugat operator selancar karena tidak menyediakan lifeguard.
Kasus Scott Neeson (Australia) di Kamboja, menjadi pelajaran penting soal perlindungan wisatawan dalam situasi bencana atau kondisi darurat.
BACA JUGA : RR Pungky Kusmalahadi Dikukuhkan Sebagai Bunda Literasi Lombok Utara
Pemerintah NTB Siap Evaluasi Total
Menanggapi sorotan dunia, Pemprov NTB melalui pertemuan “Bincang Kamisan” di Mataram, Kamis (3/7/2025) menyatakan komitmen untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan destinasi petualangan, khususnya di kawasan konservasi seperti Rinjani.
Kepala BTNGR Yarman mengatakan bahwa sistem komunikasi, pelatihan SDM, dan perlengkapan tanggap darurat akan diperkuat. “Kita tidak bisa hanya menjual keindahan. Harus ada jaminan keselamatan,” tegasnya.
Kepala Dinas Pariwisata NTB Ahmad Nur Aulia menambahkan bahwa pihaknya akan menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) evakuasi darurat berbasis pengalaman lapangan dan standar internasional.
Rinjani: Indah Tapi Belum Aman?
Gunung Rinjani memang menjadi ikon wisata NTB, namun peristiwa ini membuka kembali perdebatan lama: apakah kawasan konservasi sudah benar-benar siap sebagai destinasi global?
Pengamat pariwisata Fahrurrozi Gafar menyebut perlunya sertifikasi wajib bagi semua pemandu dan porter, serta audit berkala terhadap operator wisata. “Kita tak bisa berharap nasib baik terus. Harus ada sistem,” katanya.