Sumbawa, SIAR POST – Kisah pilu menimpa Atika Lestari, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Desa Pernang, Kecamatan Buer, Kabupaten Sumbawa. Setelah diduga mengalami kekerasan fisik dan penelantaran oleh majikannya di Libya, Atika akhirnya bisa pulang ke kampung halaman.
Namun kepulangannya masih menyisakan luka batin dan persoalan lain: gaji selama tiga bulan yang belum pernah ia terima.
Suami Atika, Fauzan, mengaku bersyukur istrinya kini sudah kembali ke rumah setelah pihak keluarga terus mendesak agar agensi segera memulangkan.
BACA JUGA : Polisi Ungkap Fakta Baru Kasus Kematian Mahasiswi Unram di Pantai Nipah, Barang Bukti Dibawa ke Labfor Bogor
“Akhirnya istri saya pulang. Ia pulang dengan bantuan BP2MI dan ikut keluarga dari agensi asal Turki. Tapi ada beberapa hal yang masih jadi persoalan,” ujarnya, Jumat (19/9/2025).
Menurut Fauzan, perjalanan kepulangan Atika juga tidak mudah. Dari Libya istrinya dipulangkan ke Turki bersama keluarga agensi, kemudian ke Jakarta.
Sesampai di Jakarta tiketnya yang Jakarta – Lombok tidak bisa dipakai karena penerbangan yang di Istambul Turki – Jakarta mengalami delay ( keterlambatan) sehingga tiket yang di jadwalkan jam 11.50 ke jakarta – lombok tidak bisa di pakai.
“Sehingga istri saya memakai jalur darat atau bus dari Jakarta ke lombok karna istri saya takut dan trauma, dia akhirnya memilih untuk cepat balik ke kampung halaman dengan biayanya sendiri,” ungkapnya.
Meski sudah lega istrinya kembali, Fauzan menegaskan masih ada hak yang belum terpenuhi. Gaji Atika selama tiga bulan, dengan besaran sekitar Rp4 juta per bulan, tidak pernah dibayarkan.
“Kami menuntut pihak agensi agar membayar gaji istri saya. Kami juga berharap pemerintah turun tangan agar hak-hak PMI bisa benar-benar terlindungi,” tegasnya.
Sebelumnya, Atika diberangkatkan oleh sponsor dari Alas Barat menuju Turki pada April 2025. Namun tanpa sepengetahuan keluarga, ia justru dipindahkan ke Libya untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga.
BACA JUGA : Tinggal 3 Hari! Promo KALCER PLN Diskon Tambah Daya 50%
Selama di sana, Atika mengaku mendapat tekanan berat, bekerja hingga larut malam, bahkan hanya bisa tidur 2–3 jam saat ikut majikannya ke Mesir. Puncaknya, pada 31 Juli lalu ia mengalami kekerasan: dipukul, ditampar, dan ponselnya dibanting hingga hancur.
Lebih parah lagi, gaji Atika selama bekerja ditahan oleh majikan dan pihak penyalur di Libya. Hingga kini, upah tersebut tak pernah sampai ke tangannya.
Tak hanya Atika, setidaknya ada empat TKW asal NTB lain yang bernasib serupa. Mereka berasal dari Buer, Alas, Lombok, dan Bima. Para korban mengaku diperlakukan layaknya budak, tanpa hak dan tanpa perlindungan.
Kepala Dinas Nakertrans Sumbawa, Ir. H. Agus Mustamin, membenarkan adanya laporan kasus ini. Ia menyebut pihaknya sudah berkoordinasi dengan BP3MI Mataram dan KJRI di Tripoli, Libya.
“Pemda tetap komit membantu, namun kewenangan perlindungan PMI ada di pemerintah pusat melalui BP2MI. Untuk kasus ini sudah dilaporkan dan sedang dalam proses,” jelasnya.