JAKARTA, SIAR POST – Polemik mengenai keberadaan bandara milik PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) kembali menguat setelah munculnya pernyataan mengejutkan dari Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang menegaskan bahwa tidak boleh ada “negara dalam negara” di wilayah Indonesia, termasuk di kawasan industri raksasa Morowali tersebut.
Ketua IPJI Sulteng, Udin Lamatta, mengaku telah meminta klarifikasi langsung kepada Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, melalui pesan WhatsApp beberapa waktu lalu. Namun jawaban sang gubernur dianggap terlalu ringan dan tidak mencerminkan urgensi persoalan serius yang sedang dibahas pemerintah pusat.
“Setahu saya selama ini pejabat dari Jakarta kalau ke IMIP lewat bandara ini,” jawab Anwar Hafid singkat, seolah-olah tidak ada masalah besar terkait absennya perangkat negara di kawasan tersebut.
Jawaban enteng itu justru memantik kritik tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya dari Ketua Umum DPP Media Independen Online (MIO) Indonesia, AYS Prayogie, yang menilai bahwa seorang gubernur tidak boleh memberikan respons yang meremehkan ketika menyangkut isu kedaulatan dan keamanan negara.
Saat diwawancarai di momentum HUT ke-5 MIO Indonesia, AYS Prayogie menegaskan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak boleh bungkam apalagi bersikap masa bodoh.
“Ini persoalan kedaulatan. Bandara ilegal atau bandara yang beroperasi tanpa perangkat negara seperti Bea Cukai dan Imigrasi, bukan hal sepele. Gubernur tidak boleh memberikan respons enteng yang seakan-akan semuanya baik-baik saja,” tegas Prayogie.
Ia menilai jawaban Gubernur Sulteng justru menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap potensi ancaman terhadap keamanan nasional.
“Justru karena pejabat pusat sering turun lewat bandara itu, maka semakin jelas bahwa pengawasan negara harus ada. Jangan sampai fasilitas penting justru dikuasai korporasi tanpa kontrol negara,” lanjutnya.
Menurut Prayogie, pemerintah pusat wajib turun tangan dan melakukan penegasan. Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat berhak mengetahui apakah bandara itu beroperasi sesuai aturan atau justru menjadi celah bebas bagi lalu lintas barang dan tenaga kerja asing.
Polemik bandara IMIP mencuat setelah Menhan Sjafrie menyebut adanya bandara di Indonesia yang tidak memiliki perangkat negara sama sekali. Tidak ada Bea Cukai, tidak ada Imigrasi, dan tidak ada kontrol keamanan Indonesia.
“Ini anomali. Bandara tapi tidak memiliki perangkat negara. Ada celah yang membuat rawan kedaulatan ekonomi,” tegas Sjafrie.
Bandara yang dimaksud berada dalam kompleks industri IMIP, Morowali, sebuah kawasan industri raksasa seluas 4.000 hektare dengan aktivitas padat tenaga kerja asing dan pergerakan barang skala besar.
Meskipun diberi label Private Airport, bandara IMIP justru diresmikan langsung Presiden Jokowi pada 2018. Informasi ini dibenarkan oleh berbagai pihak, termasuk analis pertahanan Edna Caroline Pattisina.
Yang lebih mengejutkan, pada tahun 2024 landasan bandara kembali diperpanjang dengan biaya dari perusahaan China, Zhensi Holding Group.
Direktur Eksekutif JMI, Islah Bahrawi, dalam unggahan di akun X juga menyoroti bahwa bandara tersebut pernah disebut-sebut tidak memiliki akses aparat keamanan Indonesia.
“Meski berlabel bandara pribadi, anehnya justru diresmikan oleh Jokowi. Konon tanpa keamanan, Bea Cukai, dan Imigrasi Indonesia. Serasa republik dalam republik,” tulisnya.
Edna Pattisina dalam Forum Keadilan TV menyebut bahwa bahkan aparat pun tidak bebas masuk ke area bandara tersebut.
Melalui data di laman Kementerian Perhubungan, bandara dengan kode ICAO WAMP dan IATA MWS ini disebut berstatus non-kelas, operasi khusus, dan berada di bawah Otoritas Bandara Wilayah V Makassar.
Namun publik masih mempertanyakan: jika benar diawasi pemerintah, mengapa Menhan Sjafrie dan para pengamat menemukan fakta sebaliknya?
Polemik mengenai bandara IMIP bukan hanya soal legal atau ilegal. Ini menyangkut kedaulatan negara, transparansi industri, potensi penyelundupan, hingga pertanyaan: siapa yang sebenarnya “menguasai” kawasan itu?
Ketum MIO Indonesia menegaskan bahwa pemerintah pusat harus mengambil langkah tegas.
“Tidak boleh ada wilayah Indonesia yang seolah berdiri sendiri tanpa kontrol negara. Dan Gubernur Sulteng harus memberikan penjelasan yang lebih serius, bukan jawaban enteng,” tutup Prayogie.
REDAKSI | SIAR POST














