Tambang PT AMNT. Dok liputan6
Mataram, SIAR POST – Ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah menghadapi tekanan berat di awal tahun 2025. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah ini mengalami kontraksi sebesar 2,32% secara kuartalan dan 1,47% secara tahunan pada Triwulan I 2025.
Kontraksi ini terutama dipicu oleh mandeknya ekspor tambang, khususnya tembaga dan emas, yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor NTB.
Nilai ekspor luar negeri NTB tercatat hanya mencapai US$ 17,45 juta selama Januari–Maret 2025, jauh menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 573,33 juta.
BACA JUGA : Pulau Sumbawa Jadi Provinsi Sendiri? Ini Deretan Manfaat Langsung untuk Masyarakat
Kepala BPS NTB, Wahyudin, dalam konferensi pers pada awal Mei 2025 menjelaskan bahwa sektor pertambangan mengalami kontraksi lebih dari 30%, akibat nihilnya aktivitas ekspor.
“Ini menunjukkan betapa besar ketergantungan ekonomi NTB terhadap sektor tambang. Ketika ekspor mandek, ekonomi langsung terpukul,” jelas Wahyudin.
Suara dari Daerah: “Masyarakat Langsung Terdampak”
Sorotan tajam juga datang dari masyarakat sipil dan aktivis lokal. Muhammad Sahril Amin, Koordinator Front Pemuda Taliwang (FPT), menilai bahwa penghentian ekspor tambang tidak hanya berdampak pada statistik makroekonomi, tetapi juga merambat langsung ke kehidupan warga di lingkar tambang, seperti di Kabupaten Sumbawa Barat.
“Kontraksi ekonomi NTB sebesar 2,32% itu bukan sekadar angka. Itu mencerminkan terhentinya aktivitas ekonomi masyarakat. Banyak sopir truk, buruh pelabuhan, pedagang kecil hingga pelaku UMKM yang terdampak karena ekspor tambang tidak berjalan,” ujar Sahril dalam pernyataan tertulisnya, 11 Mei 2025.
Ia juga menegaskan bahwa masyarakat bukan menolak hilirisasi atau pembangunan smelter, tetapi menginginkan adanya solusi jangka pendek yang adil.
“Proyek smelter masih butuh waktu. Tapi ekonomi masyarakat tidak bisa menunggu. Pemerintah pusat harus memberi ruang agar ekspor berjalan sembari hilirisasi dipercepat,” tambahnya.
Dukungan dari Pemerintah Pusat: “Ekspor Harus Sejalan dengan Nilai Tambah”
Isu ekspor tambang dan dampaknya terhadap ekonomi daerah juga menjadi perhatian pemerintah pusat. Dalam forum resmi Rapat Koordinasi Nasional Minerba pada Desember 2024 lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan bahwa pemerintah mendukung ekspor tambang untuk daerah penghasil seperti NTB, asalkan dilakukan secara bertanggung jawab dan bertahap menuju hilirisasi.
“Kita tidak bisa menutup mata terhadap pentingnya ekspor bagi perekonomian daerah. Pemerintah sedang menyiapkan mekanisme agar ekspor bisa kembali dibuka, dengan tetap menjaga arah kebijakan hilirisasi dan keberlanjutan lingkungan,” ujar Arifin Tasrif kala itu di Jakarta.
BACA JUGA : Warga Mataram Terluka Akibat Tali Layangan di Bypass: Leher Tergores, Nyaris Celaka
Sinyal tersebut memberi harapan kepada daerah penghasil tambang, terutama NTB, bahwa ada kemungkinan pelonggaran atau izin terbatas ekspor yang bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan ekonomi lokal.
Ketimpangan Struktur Ekonomi dan Anjuran Diversifikasi
Kontraksi tajam di sektor tambang ini membuka kembali perdebatan lama tentang ketimpangan struktur ekonomi NTB yang sangat bergantung pada sektor ekstraktif.
Wahyudin dari BPS menyampaikan bahwa jika sektor tambang tidak dihitung, ekonomi NTB justru tumbuh positif sebesar 0,95% (q-to-q) dan 5,57% (y-on-y). Artinya, sektor pertanian, perdagangan, dan jasa masih menunjukkan ketahanan.
Namun, kontribusi sektor tambang terhadap PDRB NTB yang mencapai hampir 20% membuat daerah ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan kebijakan nasional terkait ekspor bahan mentah.
“Pemerintah daerah harus segera serius memperkuat diversifikasi ekonomi. Hilirisasi tambang harus berjalan, tapi jangan abaikan sektor lain yang bisa tumbuh lebih inklusif, seperti pertanian dan industri pengolahan,” kata Wahyudin.
Penantian Akan Kepastian
Hingga pertengahan Mei 2025, belum ada kepastian resmi dari pemerintah pusat kapan ekspor tambang bisa dibuka kembali. Sementara itu, masyarakat NTB terutama yang bergantung langsung pada aktivitas tambang terus berharap ada langkah cepat dan solutif dari pemerintah.
“Kami bukan anti smelter. Tapi kami butuh makan hari ini. Ekspor ini urat nadi kami. Pemerintah harus segera memberi kepastian,” tegas Muhammad Sahril Amin.
Desakan dari bawah dan sinyal terbuka dari pemerintah pusat menunjukkan adanya ruang kompromi.
Kini, keputusan ada di tangan pemerintah: apakah akan memberi izin ekspor terbatas sebagai solusi jangka pendek, atau tetap menunggu hilirisasi rampung sambil menanggung risiko kontraksi ekonomi berkepanjangan.
Redaksi_