Oleh: (Mufidah) Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Tak banyak yang percaya bahwa seorang anak bungsu dari dua belas bersaudara, yang sempat gagal kuliah dan hanya makan sekali sehari di kamar kos kecil, kini menjadi pengusaha sukses sekaligus anggota DPRD Kota Yogyakarta.
Tapi begitulah Munazar, laki-laki sederhana asal Bima, Nusa Tenggara Barat, yang menjadikan tekad dan kesetiaan sebagai bahan bakar hidupnya.
Tahun 2007, Munazar pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta sebagai mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan.
BACA JUGA : Geger di Bima! Suami Grebek Istri Berstatus ASN Bersama Pria Lain, Lapor Polisi soal Dugaan Persetubuhan
Mimpinya sederhana: lulus, lalu mengajar. Namun, hidup justru mengajarkannya pelajaran yang lebih berat.
Di tengah semester pertama, sang ayah jatuh sakit parah. Munazar memutuskan berhenti kuliah dan pulang, meninggalkan bangku perkuliahan demi keluarga.
“Waktu itu saya ngerasa semua gelap. Tapi saya juga sadar, ini bukan akhir,” kenangnya dengan suara tenang.
Setahun kemudian, tahun 2008, ia kembali ke Yogyakarta. Kali ini, ia mengambil kuliah di Fakultas Psikologi UAD, dibantu oleh kakak-kakaknya yang menjadi tulang punggung keluarga.
Hingga semester enam, semua biaya ia tanggung dengan dukungan kakak-kakaknya yang juga masih menanggung banyak adik.
Munazar tak ingin terus menjadi beban. Sejak itu, ia bekerja apa saja: membantu di toko, dan pekerjaan lainnya.
Kamar kosnya sempit dan panas. Kadang ia hanya bisa makan satu kali sehari, sekadar nasi dan tempe goreng.
BACA JUGA : POBSI Kota Mataram Klarifikasi Isu Pungli: Turnamen Biliar Tetap Gratis, Tak Ada Paksaan 5 Persen
Tapi dari ruang itulah ia menyelesaikan kuliah S2 Psikologi dengan semangat dan kesabaran yang tak pernah pudar.
“Dari kecil saya tahu, kalau ingin keluar dari lingkaran sulit, ya harus kerja lebih keras dari yang lain,” ujarnya.
Di tengah perjuangan itu, hadir Revi, perempuan asal Jambi yang menjadi tempatnya berbagi cita-cita. Mereka sempat merintis usaha bersama seorang teman, Subhan.
Usaha itu berjalan dua bulan, namun karena kesulitan manajemen keuangan dan konflik internal, usaha tersebut terpaksa dihentikan.
“Saya belajar, bahwa usaha butuh lebih dari sekadar modal. Perlu kesepahaman dan mental tahan banting.”
Tak lama setelah itu, di tahun 2018, Munazar menikahi Revi. Mereka membangun ulang usaha dari nol membuka kedai sayur 24 jam.
Ide ini lahir dari keprihatinan mereka melihat banyak mahasiswa dan ibu rumah tangga kesulitan belanja di luar jam pasar.
Awalnya mereka hanya punya satu kulkas bekas, sebuah motor pinjaman, dan satu rak sayur. Revi mengatur stok, Munazar mengantar sayur hingga larut malam.
Revi bukan sekadar istri, ia mitra penuh dalam segala perjuangan. “Kami bagi tugas, bukan ego,” kata Munazar. “Dia tidak hanya kuat, tapi juga sabar. Dan itu modal besar.”
Dalam satu-dua tahun, usaha mereka tumbuh. Kini, kedai sayur 24 jam milik Munazar dan Revi telah memiliki 11 cabang: 4 di Yogyakarta, 3 di Solo, 2 di Semarang, dan 2 di Malang.
Selain menjadi ladang rezeki keluarga, usaha ini juga membuka lapangan kerja bagi anak muda perantauan, terutama dari Bima dan sekitarnya.
Di tengah kesibukan bisnis, tahun 2024, Munazar membuat langkah mengejutkan: ia maju sebagai calon legislatif DPRD Kota Yogyakarta. Padahal, ia bukan putra daerah, dan istrinya pun bukan orang Jogja.
Namun keberpihakannya kepada rakyat kecil dan komunitas perantauan membuahkan kepercayaan. Ia menang, dan kini duduk sebagai anggota DPRD Kota Yogyakarta.
“Banyak teman-teman mahasiswa perantauan merasa tidak punya siapa-siapa di kota ini. Tapi saya ingin bilang: kita bisa jadi siapa saja, asal mau berjuang. Jangan tunggu nyaman untuk melangkah. Justru dari ketidaknyamanan itu, kita tumbuh.” Munazar
BACA JUGA : PGAWC di Lombok: Perpaduan Olahraga, Budaya, dan Pariwisata
Kini, Munazar menjalani hidup sebagai ayah dua anak si sulung berusia 6 tahun dan si bungsu 4 tahun.
Di sela tugasnya sebagai legislator dan pengusaha, ia tetap aktif mendampingi mahasiswa Bima di Yogyakarta. Bagi mereka, Munazar bukan sekadar tokoh, tapi juga kakak dan tempat bertanya.
Ia hadir saat dibutuhkan, menyumbang saat kekurangan, dan mendukung kegiatan mahasiswa tanpa banyak publikasi.