MATARAM, SIAR POST | Kekhawatiran akan anjloknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) mendorong DPRD setempat melakukan langkah strategis ke pusat pemerintahan.
Pada 1 Juli 2025 kemarin, DPRD KSB resmi melakukan hearing dengan Komisi 12 DPR RI di Senayan, Jakarta, dengan agenda utama meminta relaksasi kebijakan bagi PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).
Ketua DPRD KSB, Kaharuddin Umar, dalam wawancara khusus pada Kamis, (3 Juli 2025), mengungkapkan bahwa langkah ini merupakan lanjutan dari rangkaian upaya sebelumnya yang dilakukan DPRD KSB.
Komisi II dan Komisi III DPRD telah lebih dahulu mendatangi Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian. Namun, karena urusan relaksasi berkaitan erat dengan kebijakan fiskal dan pertambangan nasional, Kementerian ESDM menyarankan agar DPRD KSB berkoordinasi langsung dengan Komisi 12 DPR RI.
“Setelah melalui surat resmi ke Sekretariat DPR RI, akhirnya dijadwalkan pertemuan dengan Komisi 12 pada 1 Juli kemarin. Dalam pertemuan itu, kepada DPR RI kami telah sampaikan rekomendasi resmi agar pemerintah pusat memberikan relaksasi kebijakan kepada PT AMNT,” ujar Kaharuddin.
Menurutnya, permintaan relaksasi ini bukan sekadar bentuk dukungan ke perusahaan tambang, tetapi murni untuk menyelamatkan keuangan daerah yang sangat tergantung pada pendapatan sektor pertambangan.
“80 persen APBD KSB itu bersumber dari tambang. Kalau tidak ada relaksasi, maka akan sangat berdampak pada fiskal kita tahun 2026. Bisa turun drastis hingga 50 persen,” tegasnya.
Ancaman Turunnya APBD Hingga 50 Persen
DPRD KSB mengaku telah mendapat informasi bahwa produksi konsentrat PT AMNT tahun ini semakin bertambah, sementara stok yang belum diproses mencapai 300 ribu ton. Sementara kapasitas smelter yang baru beroperasi tahun ini masih terbatas dan belum bisa memproses semua konsentrat.
“Kalau stok 300 ribu ton itu tidak dapat izin relaksasi ditambah lagi tahun ini, maka akan menumpuk. Dampaknya, produksi 2026 bisa terganggu dan penerimaan daerah akan menurun tajam,” jelas Kaharuddin.
Ia mencontohkan, tahun 2024 APBD murni KSB sebelum masuk Dana Bagi Hasil (DBH) dan royalti hanya berkisar Rp1,3 triliun. Namun setelah DBH dan royalti dari AMNT tahun 2022-2023 masuk, angkanya melonjak menjadi Rp2,2 triliun.
BACA JUGA : Rp816 Juta Mengalir ke Universitas Cordova KSB Tanpa PKS, Evaluasi Mandek, Siapa Bertanggung Jawab?
“Jika relaksasi tidak diberikan, maka di tahun 2026 nanti, APBD kita bisa anjlok lagi ke angka Rp1,1 triliun, bahkan bisa lebih rendah. Itu artinya, pembangunan dan pelayanan ke masyarakat akan sangat terganggu,” tegasnya.
Dampak Lain: PHK Massal hingga Inflasi
Selain ancaman pada APBD, relaksasi ini juga berkaitan dengan keberlangsungan tenaga kerja di wilayah tambang.
Jika produksi tersendat karena stok tidak bisa diproses atau dijual, maka perusahaan bisa melakukan pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran.
“Ini bukan cuma soal uang daerah, tapi juga soal stabilitas sosial dan ekonomi masyarakat. Sumbawa Barat itu inflasinya 80 persen dipengaruhi oleh sektor tambang,” ujar Kaharuddin.
Ia menegaskan, DPRD KSB tidak sedang berpihak pada korporasi, melainkan berjuang agar pemerintah pusat tidak menerapkan kebijakan kaku yang berujung pada kerugian bagi daerah penghasil tambang. Kaharuddin meyakini kalau perusahaan punya jurus sendiri untuk mengatasi masalahnya, misalnya dengan perlindungan asuransi atau mengurangi operasi.
Namun dampak fiscal dan ketenagakerjaan terhadap KSB tentu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, dalam hal ini DPRD melalui ruang politik
Yang tersedia.
BACA JUGA : Ini Prakiraan Cuaca Esok 5 Juli 2025! BMKG: Denpasar Berpotensi Petir, Mataram Diterpa Angin Kencang
Bola di Tangan Pemerintah Pusat