banner 728x250

Kuasa Hukum Bongkar Fakta Persidangan Kasus Dugaan Pemerkosaan: Tak Ada Bukti, Tazkiran Harusnya Dibebaskan

banner 120x600
banner 468x60

PRAYA, SIAR POST – Sidang kasus dugaan pemerkosaan yang menyeret nama Muhammad Tazkiran, pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah Az-Zikri di Kecamatan Pringgarata, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Praya pada Rabu (9/7/2025) dengan agenda pembacaan pledoi (nota pembelaan).

banner 325x300

Dalam pledoi tersebut, penasihat hukum terdakwa menegaskan bahwa kliennya seharusnya dibebaskan karena tidak terbukti secara hukum melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.

Muhammad Tazkiran sebelumnya dituntut 19 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 6 bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

BACA JUGA : FPTI NTB Konsisten Bantu Korban Banjir di Mataram: Penanganan Bencana Bukan hanya Tugas Pemerintah

Namun, Iwan Slenk selaku kuasa hukum terdakwa menyebut bahwa tuntutan tersebut sangat bertentangan dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.

“Kalau kita lihat fakta persidangan, seharusnya jaksa menuntut bebas. Korban sendiri dengan jelas dan tegas menyatakan di depan majelis hakim bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak pernah terjadi,” tegas Iwan Slenk kepada media.

Tak hanya itu, menurut Iwan, keterangan saksi lain seperti ayah korban juga memperkuat ketidakterbuktian kasus ini. Ia mengatakan bahwa tidak satu pun saksi yang melihat perbuatan seperti yang dituduhkan dalam dakwaan jaksa.

“Yang paling mengejutkan adalah pernyataan saksi korban sendiri yang menyatakan bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan tersebut. Jadi di mana letak pembuktiannya?” ujar Iwan dengan nada heran.

Iwan juga menambahkan, tidak ada unsur rayuan, tipu muslihat, atau unsur kekerasan seksual yang terungkap dalam proses persidangan. Ia mempertanyakan logika hukum jaksa yang tetap menuntut tinggi di tengah lemahnya alat bukti.

BACA JUGA : PLH Kadis Pariwisata NTB Gunakan Kop Dinas Untuk ‘Minta-minta Dana’ Cabor FORNAS: Ketua SAPANA Angkat Bicara!

“Saya tidak mengerti dasar jaksa menuntut 19 tahun. Terdakwa adalah pimpinan ponpes, iya. Tapi bukan berarti ia bisa dihukum hanya berdasarkan asumsi tanpa bukti kuat,” tandasnya.

Sementara itu, JPU Kejari Lombok Tengah, Wennys Kartika, menjelaskan bahwa dalam kasus ini sebenarnya ada tiga santri yang menjadi korban, namun hanya satu yang masuk dalam berkas perkara sebagai korban utama, sementara dua lainnya menjadi saksi.

“Dua saksi ini memberi keterangan bahwa terdakwa juga pernah melakukan tindakan cabul terhadap mereka, dan kami sudah mendorong mereka membuat laporan polisi,” ujar Wennys.

JPU bersikukuh bahwa alat bukti cukup untuk menyimpulkan adanya pemerkosaan terhadap korban utama. Selain itu, jaksa menilai status terdakwa sebagai tokoh agama menjadi pemberat karena semestinya menjadi panutan.

“Tindakan terdakwa sangat bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan. Karena itu, tidak ada hal yang bisa meringankan hukumannya,” tegas Wennys.

Pihak jaksa menyatakan masih akan mempelajari isi pledoi untuk menentukan apakah akan ditanggapi secara lisan atau tertulis dalam sidang berikutnya. Sidang lanjutan dijadwalkan pekan depan dengan agenda replik dari JPU.

Redaksi___

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *