Mataram, SIAR POST – Di balik angka realisasi yang nyaris sempurna, tersimpan persoalan serius dalam pengelolaan belanja hibah dan bantuan sosial Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2024.
Data Laporan Realisasi Anggaran (LRA) yang telah diaudit menyebutkan bahwa Pemprov NTB merealisasikan belanja hibah sebesar Rp295,5 miliar (98,80% dari total anggaran), serta belanja bantuan sosial sebesar Rp7,3 miliar (94,18%).
Namun, realisasi itu dibayangi dugaan pelanggaran aturan dan lemahnya kontrol administrasi.
BACA JUGA : Proyek Rp70 Miliar Poltekkes Mataram Molor, Forum Rakyat NTB Minta BPK Audit
Dana Cair, LPJ Tak Ada
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terungkap bahwa pencairan dana hibah di beberapa SKPD tetap dilakukan meski tanpa laporan pertanggungjawaban (LPJ) tahap sebelumnya. Dua kasus mencolok ditemukan pada LPAn NTB dan TP PKK.
LPAn NTB mendapat hibah Rp200 juta dalam dua tahap, namun LPJ Tahap I belum disampaikan ketika dana Tahap II dicairkan. Parahnya, LPJ baru diserahkan setelah BPK turun tangan.
TP PKK menerima Rp2,5 miliar juga dalam dua tahap. Sama halnya, LPJ Tahap I tidak ada saat pencairan tahap kedua dilakukan. Dalih pergantian pengurus dijadikan alasan, namun hingga Mei 2025, LPJ masih belum masuk.
93 Lembaga Hilang Tanpa Jejak LPJ
Masalah makin pelik saat ditemukan fakta bahwa dari total 160 lembaga penerima hibah yang dikelola Biro Kesra Pemprov NTB, sebanyak 93 di antaranya belum menyerahkan LPJ, dengan nilai total mencapai Rp3,29 miliar. Monitoring hanya dilakukan via telepon dan tanpa dokumentasi resmi.
BACA JUGA : Geger di Bima! Suami Grebek Istri Berstatus ASN Bersama Pria Lain, Lapor Polisi soal Dugaan Persetubuhan
Bahkan, hasil uji petik mengungkap bahwa beberapa kegiatan baru dilaksanakan di tahun 2025, sehingga LPJ belum dibuat.
Ada pula yang mengaku tidak paham soal kewajiban LPJ. Miris, padahal dana sudah dicairkan sejak tahun sebelumnya.
Proposal Satu, Realisasi Lain
Pemeriksaan juga menunjukkan adanya penyimpangan penggunaan dana hibah yang tidak sesuai dengan proposal awal. Contohnya:
TPQ Bai mengusulkan beli alat kegiatan, tapi justru membeli seragam dan membayar honor guru.
WKSBMKBS mengajukan proposal pelatihan, namun malah membeli piring, mesin parut, dan kompor.
SMA YM berencana bangun ruang kelas baru, tetapi dana dialihkan untuk rehabilitasi.
Alasan klasik seperti “proposal sudah terpenuhi sebelumnya” atau “jadwal ujian sudah dekat” digunakan untuk membenarkan penyimpangan. Padahal, Disdikbud NTB pada tahun 2024 tidak membentuk Tim Evaluasi Hibah, sehingga proses pengawasan pun longgar.
BACA JUGA : NTPW Apresiasi Aksi Cepat Pemprov NTB di Tengah Banjir Melumpuhkan Kota, Ini Data Update Terdampak
Ketika Regulasi Jadi Formalitas
Semua pelaksanaan hibah dan bansos ini semestinya merujuk pada Peraturan Gubernur NTB Nomor 18 Tahun 2021, yang diperbarui menjadi Pergub No. 50 Tahun 2024. Aturan tersebut secara tegas mewajibkan LPJ sebagai syarat pencairan tahap lanjutan.
Namun kenyataannya, aturan hanya jadi formalitas, pencairan tetap jalan tanpa kelengkapan administrasi.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pengelolaan dana hibah di NTB belum memadai dan rawan penyalahgunaan, sekalipun angka realisasi terlihat nyaris sempurna.