Bima, SIAR POST — Polemik tambang rakyat kembali bergulir. Kali ini, rakyat balik bertanya: “Mengapa hak kami atas Izin Pertambangan Rakyat (IPR) terus dipersulit?”
Ketua Komunitas Pertambangan Rakyat Kabupaten Bima, Rudi, mengecam keras sikap aparat dan pejabat yang kerap mempersoalkan legalitas tambang rakyat, tanpa memberi solusi konkret.
“Sudah bertahun-tahun kami urus IPR, tapi selalu buntu. Kami ini rakyat kecil yang cuma ingin hidup dari tanah sendiri. Kalau bukan ke pemerintah, ke siapa lagi kami harus mengadu?” tegas Rudi, Rabu (23/7/2025).
BACA JUGA : Gubernur dan Kapolda NTB Luncurkan IPR Pertama, Harapan Baru Tambang Legal di NTB
Pernyataan Rudi merupakan tanggapan langsung atas pertanyaan Kepala Kejaksaan Tinggi NTB yang mempertanyakan dasar penerbitan IPR. Rudi balik menohok, “Dasarnya jelas: UU Minerba! Tapi kenapa rakyat yang tunduk pada aturan justru dipersulit, sementara IUP-IUP besar mulus keluar begitu saja?”
Tambang Rakyat: Jalan Hidup, Bukan Sekadar Lubang Emas.
Bagi Rudi, tambang rakyat bukan hanya soal mineral, tapi tentang martabat hidup masyarakat desa.
Saat pemerintah lamban menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), ribuan warga dipaksa bekerja dalam bayang-bayang ilegalitas.
“Banyak pemuda desa terpaksa jadi buruh migran ke luar negeri karena tak ada pilihan hidup di kampung. Kalau tambang dilegalkan, mereka bisa kerja dekat rumah, dekat keluarga. Berapa banyak keluarga yang hancur karena harus berpisah demi sesuap nasi?” ucapnya.
Ia juga menyoroti bahaya laten dari tidak adanya IPR: masuknya investor gelap yang menjarah sumber daya lokal tanpa kendali.
“Mereka datang bawa alat berat, ambil hasil bumi seenaknya. Rakyat hanya jadi buruh. Kalau tambang dilegalkan, rakyat bisa berdaulat atas tanahnya sendiri,” ujarnya tegas.
Advokad senior dari Kantor Hukum Imam Wahyudin & Rekan menjelaskan, Regulasi Ada, Mengapa Masih Dihambat?
BACA JUGA : Menjaga Luka, Merajut Saudara: Bhayangkari Lombok Utara Jaga Generasi Hebat
Ia mengatakan, IPR bukan aspirasi liar, tapi amanat undang-undang. UU No. 3 Tahun 2020 dan PP No. 96 Tahun 2021 secara tegas mengatur bahwa pemerintah wajib menetapkan WPR, dan Gubernur wajib menerbitkan IPR atas dasar WPR tersebut.
Namun di lapangan, birokrasi yang berbelit dan sikap diam pemerintah daerah membuat proses legalisasi tambang rakyat mandek.
“Kalau memang ingin tertibkan tambang ilegal, ya buka dulu jalur legalnya! Jangan rakyat terus-menerus dikejar dan dikriminalisasi, sementara izin untuk korporasi dibiarkan bebas,” kata Imam.
Ia menekankan, rakyat bukan melawan hukum — mereka justru menagih kehadiran hukum yang adil dan berpihak.
Sementara itu aktivis perempuan asal Sumbawa Barat, Yuni Bourhany, menambahkan bahwa legalisasi lewat IPR bukan hanya menguntungkan masyarakat, tetapi juga negara.
“IPR akan membuka pintu PAD, memperbaiki tata kelola tambang, dan menutup celah cukong ilegal. Negara bisa hadir bukan sebagai pemadam, tapi sebagai pelindung rakyat,” jelasnya.
Yuni mengingatkan, negara tidak boleh hanya datang saat hendak menutup tambang rakyat.
“Datanglah saat kami butuh legalitas, butuh pendampingan. Jangan biarkan rakyat melawan ketidakadilan ini sendirian,” tutupnya.
Redaksi____