MATARAM, SIAR POST | Lima tahun lalu, tepat di hari kemerdekaan, sorak sorai merdeka di Sempana mendadak senyap oleh sebuah kabar duka.
Seorang remaja bernama Naufal, 16 tahun, warga BTN Blencong bersama ratusan pendaki lain, dengan penuh semangat menantang jalur curam dan punggungan sempit Sempana untuk merayakan Hari kemerdekaan di atas awan. Namun satu langkah keliru mengubah suasana perayaan menjadi kepanikan.
BACA JUGA : Hadapi Perubahan Iklim, Lombok Utara Susun Kebijakan Tata Ruang Berbasis Mitigasi Bencana
Naufal terjatuh ke jurang sedalam lebih dari 200 meter. Meski teman temannya berusaha menolong, medan yang terlalu sulit menjadi kendala. Tim penyelamat butuh enam jam untuk dapat mengevakuasinya.
Malam itu, nyawa Naufal masih bisa diselamatkan, tetapi peristiwa tersebut menjadi peringatan bahwa Sempana bukan bukit biasa.
Lima tahun kemudian, tepat di hari yang sama, kabar serupa kembali terdengar. Dilansir Detik, 17/08/25, Dzulpanil Khoiri alias Zulpan, 16 tahun, pelajar kelas XI SMA IT Yarsi Mataram, terjatuh ke jurang sekitar 100 meter saat perjalanan turun bersama teman-temannya. Ia sempat berpegangan pada rerumputan sebelum akhirnya terlepas.
Tim gabungan kembali berjibaku mengevakuasi korban. Menjelang malam, tubuh Zulfan berhasil diangkat, namun kali ini takdir berkata lain—ia dinyatakan meninggal dunia di Puskesmas Sembalun.
Dua peristiwa berbeda, dengan jarak lima tahun, tapi di jalur yang sama. Seolah ingin mengingatkan: bahwa Sempana bukan sekedar “bukit” yang dapat ditaklukkan dengan santai, melainkan gunung dengan jalur ekstrem yang menuntut kehati-hatian penuh.
BACA JUGA : LENTERA: Terangi Desa Tertinggal, Mahasiswa NTB Buktikan Cinta Daerah Lewat Aksi Nyata
Karena pada akhirnya, mendaki bukan hanya tentang menaklukkan puncak. Mendaki adalah tentang memastikan setiap langkah membawa kita kembali pulang ke rumah dengan selamat.
Sumber : Facebook/lombokfriendly
