MATARAM, SIAR POST — Upaya praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi tanah negara di Desa Bagik Polak, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat, resmi ditolak oleh Pengadilan Negeri Mataram. Putusan tersebut dibacakan oleh Hakim Tunggal Mukhlassuddin, S.H., M.H., melalui putusan Nomor: 13/Pid.Pra/2025/PN.Mtr, pada Selasa (29/10/2025).
Permohonan praperadilan ini diajukan oleh tersangka Baiq Mahyuniati Fitria (BMF), mantan Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa di Kantor BPN Lombok Barat. Ia mempersoalkan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Penyidik Kejaksaan Negeri Mataram, yang menilai BMF turut berperan dalam proses rekayasa sertifikat tanah negara seluas 3.757 meter persegi di Desa Bagik Polak.
BACA JUGA : Pelayanan Adminduk Dukcapil Lombok Barat Menyapa Hingga Pelosok: Gandeng NTBcare dan Ombudsman
Namun, hakim menolak seluruh dalil yang diajukan pemohon. Dengan demikian, penetapan tersangka oleh Kejaksaan Negeri Mataram dinyatakan sah secara hukum.
Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, Dr. Gde Made Pasek Swardhyana, menegaskan bahwa langkah hukum yang ditempuh pemohon merupakan hak warga negara, namun tidak mengubah fakta bahwa penetapan tersangka sudah sesuai prosedur.
“Upaya hukum seperti ini merupakan bagian dari mekanisme masyarakat dalam mengontrol kerja aparat penegak hukum. Namun, hasil sidang menegaskan penetapan tersangka sudah sah,” jelas Made.
Ia menambahkan, setelah ditolaknya gugatan praperadilan tersebut, pihaknya akan segera menyusun berkas dakwaan dan melimpahkan perkara ke Pengadilan Tipikor Mataram. Saat ini, tim penyidik tengah menunggu hasil resmi perhitungan kerugian negara dari BPKP (Perwakilan NTB).
“Nilainya sudah ada, sekitar ratusan juta rupiah, dan tanah yang menjadi objek perkara sudah kami sita,” ujarnya.
Kasus korupsi ini mencuat setelah penyidik Kejari Mataram menetapkan dua tersangka, yaitu AAP, Kepala Desa Bagik Polak, dan BMF, pejabat BPN Lombok Barat.
Pada 2018, AAP mengajukan sertifikat hak milik atas sebidang tanah pertanian di Dusun Karang Sembung, Desa Bagik Polak. Padahal, lahan tersebut merupakan tanah pecatu milik Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang masuk dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
BACA JUGA : Kolaborasi Rumah Yatim, IM3, dan Tokopedia Hadirkan Sekolah Layak bagi Anak-anak Lombok Barat
Dari pengajuan tersebut, terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 02669 atas nama pribadi AAP. Sertifikat ini kemudian dibatalkan pada 2019 setelah ditemukan kejanggalan. Namun dalam sidang perdata di Pengadilan Negeri Mataram, muncul rekayasa dokumen yang membuat tanah itu justru beralih ke pihak lain dengan dalih perdamaian.
Penyidik menilai, BMF ikut berperan aktif dengan tidak menghadirkan saksi dan dokumen penting dalam persidangan, sehingga skenario pengalihan tanah bisa berjalan mulus.
Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian ratusan juta rupiah atas hilangnya aset tanah negara tersebut.














