Lombok Timur, NTB (SIAR POST) | Seorang oknum penasehat hukum (PH) berinisial L.P.A, asal Lombok Timur diduga terlibat penyalahgunaan profesi setelah meminta uang sebesar Rp55 juta kepada kliennya berinisial A.E, warga Sembalun Bumbung, dengan dalih mengurus perkara sengketa waris di Pengadilan Agama (PA) Selong.
A.E mengungkapkan bahwa uang tersebut diserahkan setelah L.P.A meyakinkan dirinya bahwa dana itu diperlukan untuk proses persidangan. Setelah berlangsung lima kali sidang, L.P.A kemudian menyampaikan bahwa gugatan telah dicabut sementara, sehingga perkara dianggap selesai.
Namun, A.E mengaku tidak pernah menerima dokumen resmi, surat pencabutan, atau pemberitahuan tertulis apa pun dari pengadilan. Upaya A.E untuk meminta penjelasan justru tidak mendapat respons jelas dari L.P.A, sehingga memunculkan kecurigaan.
Keluarga kemudian berinisiatif melakukan penelusuran lebih jauh. Berdasarkan hasil investigasi awak media di Pengadilan Agama Selong, ditemukan fakta berbeda. Pihak PA menegaskan bahwa tidak ada pencabutan gugatan dalam perkara tersebut. Sebaliknya, majelis hakim telah menjatuhkan putusan Niet Ontvankelijk (NO) atau gugatan tidak dapat diterima karena cacat formil dari pihak penggugat.
Tidak berhenti di situ, A.E juga disebutkan sempat diminta menjadi saksi sekaligus tergugat dalam perkara lain yang berkaitan di Pengadilan Negeri Selong. Dalam proses tersebut, ia kembali dimintai uang sebesar Rp30 juta oleh L.P.A dengan alasan untuk “menebus putusan” di pengadilan—sebuah klaim yang tidak dikenal dalam hukum acara perdata Indonesia.
Menanggapi dugaan penyimpangan tersebut, praktisi hukum Syarif Hidayat, S.H menegaskan bahwa putusan NO tidak mewajibkan tergugat membayar denda, tebusan, atau biaya tambahan apa pun, selain biaya perkara resmi yang jumlahnya relatif kecil dan wajib disetor langsung ke kas negara.
“Jika benar ada advokat meminta dana dengan dalih pencabutan gugatan atau pengurusan putusan NO, itu jelas tidak sesuai hukum acara dan melanggar kode etik profesi. Advokat tidak boleh memberikan informasi menyesatkan, apalagi memanfaatkan ketidaktahuan klien,” tegas Syarif Hidayat.
Ia juga mendorong agar organisasi advokat mengambil langkah tegas terhadap dugaan pelanggaran tersebut.
“Jika ada bukti yang cukup, korban berhak melapor ke organisasi advokat maupun aparat penegak hukum. Tindakan seperti itu dapat dikualifikasikan sebagai penipuan atau pemerasan,” tambahnya.
Konsekuensi Hukum bagi Oknum PH Menurut Syarif Hidayat, apabila dugaan tersebut terbukti, L.P.A dapat menghadapi sejumlah konsekuensi serius, yakni:
- Sanksi Etik dari Organisasi Advokat
Teguran keras
Pembekuan sementara izin praktik
Pemberhentian tetap sebagai advokat - Sanksi Pidana
Pasal 368 KUHP – Pemerasan
Pasal 378 KUHP – Penipuan
Pasal 372 KUHP – Penggelapan - Tanggung Jawab Perdata
Pengembalian kerugian kepada klien
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Hingga berita ini diterbitkan, LPA belum memberikan keterangan resmi.Awak Media tetap memberi ruang bagi yang bersangkutan untuk menyampaikan hak jawab, sesuai ketentuan Undang-Undang Pers.














