Pemotongan Beasiswa & Penerima Tak Layak: STIPAR Soromandi Diterpa Skandal Pengelolaan Dana Pendidikan

BIMA, SIAR POST | Dugaan praktik penyimpangan dalam penyaluran dana beasiswa mencuat di lingkungan Sekolah Tinggi Pariwisata (STIPAR) yang berlokasi di Desa Punti, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kampus tersebut dituding melakukan Pemotongan Beasiswa terhadap sebagian besar mahasiswanya, serta Tetap Memberikan Beasiswa Kepada Mahasiswa Yang Sudah Berstatus Menikah yang sejatinya tidak lagi memenuhi syarat penerima bantuan pendidikan.

Menurut sala seorang aktivis yang enggan disebutkan namanya tersebut, Informasi ini berawal dari temuanya. Bermulah dari keluhan sejumlah mahasiswa yang juga enggan disebutkan namanya. Mereka menyebutkan adanya Pemotongan Dana Beasiswa Tanpa Penjelasan Resmi Dari Pihak Kampus. Beberapa di antara mereka bahkan mengakui hanya menerima sebagian kecil dari nominal yang seharusnya diterima penuh sebesar Rp. 5.700.000. Sebagian dari mehasiswa menyebutkan “Beasiswa yang kami terima hanya Rp. 4.000.000. itupun di setiap orang bervariasi bahkan ada yang dibawah itu sebesar Rp. 3.500.000 samapi Rp. 3.000.000. yang pasti di setiap anggkatan masunya pasti beda-beda jumlah beasiswa yang di terima.”_-Ujarnya Kamis, 06 November 2025.

“Kami tidak pernah diberi penjelasan kenapa beasiswa kami dipotong. Saat ditanya ke pihak kampus, jawabannya tidak jelas. Padahal uang itu hak kami sebagai mahasiswa penerima,” ujar salah satu mahasiswa penerima beasiswa, Selasa 04 November 2025.

Fakta lain yang menambah kontroversi adalah adanya penerima beasiswa yang Sudah Berstatus Kawin. Padahal, dalam regulasi nasional yang diatur oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, penerima beasiswa mahasiswa umumnya disyaratkan Masih Berstatus Belum Menikah, Aktif Kuliah, Dan Berasal Dari Keluarga Berpenghasilan Rendah. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka pencairan dana dapat dikategorikan sebagai Pelanggaran Administratif dan Etika Penyaluran Bantuan Pendidikan.

Di sisi lain, pihak kampus hingga berita ini diturunkan Belum Memberikan Tanggapan Resmi atas dugaan tersebut. Beberapa upaya konfirmasi yang dilakukan wartawan kepada pengelola kampus Tidak Mendapat Jawaban. Kondisi ini memunculkan kecurigaan publik bahwa ada upaya menutupi persoalan di internal kampus.

Aktivis Mataram, yang meminta identitasnya dirahasiakan menilai kasus ini mencerminkan Krisis Integritas Lembaga Pendidikan di Daerah. Ia menegaskan bahwa beasiswa bukan sekadar bantuan finansial, tetapi Amanah Publik Yang Harus Disalurkan Dengan Penuh Tanggung Jawab.

“Kalau benar ada pemotongan dan penerima yang tidak memenuhi syarat, itu bukan cuma pelanggaran administratif. Itu bentuk korupsi moral di dunia pendidikan. Kampus seharusnya menjadi contoh, bukan justru mencederai kepercayaan publik,” ujar aktivis tersebut dalam wawancara terpisah.

Ia menegaskan, bahwa kasus ini harus Segera Diselidiki Oleh Dinas Pendidikan dan Pihak Berwenang di NTB, karena menyangkut kredibilitas pengelolaan dana pendidikan yang bersumber dari anggaran negara. Ia juga menyampaikan komitmen bahwa kasus ini akan dibicarakan lebih lanjut dengan OMBUSMAN Nusa Tenggara Barat, Lewat surat Hearing yang sudah dimasukan tanggal 08/Noember 2025 kemarin.” Ujar Aktivis Mahasiswa, saat di wawancara oleh wartawan.

“Mahasiswa harus berani bersuara. Jangan biarkan ketidakadilan ini berlarut. Kalau beasiswa bisa diselewengkan, maka semangat pendidikan untuk rakyat miskin hanya jadi slogan,” tegasnya.

Sementara itu, sejumlah kalangan akademisi menilai bahwa kasus STIPAR Soromandi menggambarkan Ketimpangan Antara Nilai Ideal Pendidikan dan Praktik di Lapangan. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang pembentukan karakter justru tersandera oleh kepentingan administratif dan ketertutupan birokrasi.

Dugaan pelanggaran seperti ini bukan pertama kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kampus swasta di berbagai daerah juga sempat disorot karena Ketidaktransparanan Penyaluran Dana Beasiswa. Polanya nyaris sama: pemotongan dana, penerima fiktif, dan lemahnya pengawasan internal.

Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka yang rusak bukan hanya nama lembaga, melainkan Nilai Dasar Pendidikan Itu Sendiri. Kampus, tempat menanamkan integritas dan kejujuran, justru berpotensi menjadi ruang reproduksi penyimpangan etika.

“Kampus harus berani bercermin. Jangan sampai tempat melahirkan sarjana justru menjadi ladang ketidakadilan,” Tutup sang aktivis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *