Lombok Utara, SIARPOST — Polemik penonaktifan Kepala Desa Jenggala, Fahruddin, yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Lombok Utara tertanggal 8 Desember lalu, terus memantik perhatian publik.
Namun, di tengah berbagai isu yang berkembang, masyarakat Jenggala menegaskan sikap berbeda: mereka tidak menolak kebijakan tersebut, justru mengapresiasi diskresi Bupati Lombok Utara sebagai langkah menjaga stabilitas dan keamanan wilayah.
Hal itu disampaikan langsung oleh Kuasa Hukum Fahruddin, Afian, SH., MH., dalam klarifikasinya kepada rekan-rekan media. Ia menegaskan bahwa kecintaan masyarakat kepada Fahruddin tidak boleh dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan Bupati.
“Penonaktifan ini kami pahami sebagai langkah strategis kepala daerah. Kami menghormati sepenuhnya kewenangan Bupati, termasuk jika masa penonaktifan berlangsung hingga tiga bulan,” tegas Afian.
Menurutnya, masyarakat dan tim kuasa hukum tidak pernah meminta agar Fahruddin segera dikembalikan sebagai kepala desa definitif. Yang diharapkan adalah proses yang adil, transparan, dan berimbang, dengan mendengarkan seluruh fakta lapangan, bukan hanya keterangan sepihak.
“Kami ingin didengar. Supaya terang benderang. Jangan sampai ada disparitas perlakuan, apalagi jika kasus serupa pernah terjadi di kecamatan lain,” ujarnya.
Afian juga menilai bahwa perkara yang menimpa kliennya bukanlah kejahatan luar biasa. Berdasarkan data dan fakta yang diklaim mereka temukan, kasus tersebut diduga kuat merupakan skenario penjebakan yang dirancang untuk menjatuhkan Fahruddin dari jabatannya.
“Kami tidak asal menuduh. Ada mens rea, ada niat yang tidak baik. Fakta reservasi hotel di tempat yang sama menjadi salah satu indikasi yang perlu diuji secara hukum,” ungkapnya.
Bahkan, pihak hotel tempat kejadian disebut merasa keberatan karena privasi tamu diobrak-abrik tanpa izin manajemen. Pihak hotel dikabarkan tengah mempertimbangkan langkah keberatan secara resmi.
Dalam kesempatan tersebut, Afian juga menyampaikan permohonan maaf terbuka atas nama Fahruddin kepada masyarakat Tenak Song, Desa Jenggala, dan masyarakat Lombok Utara secara luas. Ia berharap kasus ini menjadi pelajaran bersama, baik dalam perspektif hukum nasional maupun hukum adat yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
“Kita terikat adat. Awit-awit okon gubuk masih kita jaga. Ada sanksi adat, ada pula sanksi hukum negara,” katanya.
Terkait kemungkinan langkah hukum lanjutan, Afian menyatakan pihaknya bersikap fleksibel. Namun, jika perkara ini berlanjut, tim kuasa hukum siap mengawal hingga proses persidangan dengan menyajikan data dan fakta yang mereka miliki.
“Biarlah nanti diuji di forum hukum. Kami siap berjibaku secara terbuka dan fair,” pungkasnya.
Masyarakat berharap, polemik ini tidak merusak persatuan sosial di Desa Jenggala dan menjadi momentum pembelajaran bersama agar kehidupan bermasyarakat tetap utuh, padu, dan saling menguatkan.( Niss)














