banner 728x250

Bencana di Pelupuk Mata, Proyek Bendungan Meninting Lombok Ancam Hidup Perempuan di 4 Desa

banner 120x600
banner 468x60

Foto : Proyek Strategis Nasional Pembangunan Bendungan Meninting Lombok Barat Yang Menghabiskan Anggaran Rp1,3 T

/Pulihkan Kawasan Hutan dan DAS Meninting, Tinjau Ulang Proyek Bendungan Meninting

banner 325x300

Lombok Barat, SIARPOST | Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Meninting semakin kritis akibat tambang pasir dan batu, timbulan sampah, pendangkalan dan penyempitan sungai akibat sedimentasi, serta bantaran sungai yang semakin tergerus. Hal itu dampak dari pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Meninting.

Resiko bencana juga semakin menguat karena posisi pemukiman sedikit lebih rendah dari tinggi muka air sungai.

Situasi tersebut mengancam kehidupan masyarakat, tidak hanya korban jiwa, namun keseimbangan ekosistem menjadi terganggu dan hilangnya sumber kehidupan masyarakat sekitar.

Terutama perempuan yang kerap memanfaatkan hutan aren untuk industri rumah tangga yang kini semakin hilang akibat pembangunan bendungan yang menghabiskan anggaran Rp1,3 triliun tersebut.

Baca juga : Kapolres Lombok Utara Rutin Gowes, Jaga Kebugaran Tubuh Menjelang Pemilu

“Perempuan di sekitar bendungan Meninting rata-rata bekerja sebagai petani, buruh tani, dan memanfaatkan tanaman aren. Jika bendungan terus dilanjutkan ditambah kawasan hutan dan DAS Meninting yang sudah semakin kritis maka perempuan pasti akan sangat terdampak terutama dari sisi ekonomi. Perempuan akan menghadapi kerentanan lainnya yang jauh lebih luar biasa, seperti kemiskinan dan kekerasan” ungkap Nurul Utami, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Mataram di acara Fokus Group Discussion di Lombok Barat, Senin (5/2/2024).

PSN ini dihajatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Namun menyisakan berbagai macam persoalan di empat desa yaitu Desa Gegerung, Mambalan, Kekeri Geriya, dan Bukit tinggi.

Potensi Dampak yang akan ditimbulkan akibat hilangnya lahan tutupan hutan Lindung sebagai penahan air seperti rawan banjir dan Longsor.

Kemudian hilangnya sumber bahan baku Gula aren, bahan baku Ijuk dan Bambu (pembuatan sapu, dan Tali ijuk ) serta hilangnya sumber pangan (sayuran), buah-buahan dan obat obatan.

Potensi bencana ini, kata Nurul, diperkuat oleh hasil kajian dan pemetaan resiko bencana yang dilakukan Solidaritas Perempuan (SP) Mataram bersama dengan perempuan-perempuan di beberapa desa di kawasan DAS Meninting pada Mei 2022 yang lalu.

Baca juga : Dinyatakan Lengkap, Penyidik Polres Lombok Utara Limpahkan Berkas Tipilu ke Kejari Mataram

Bahwa pembangunan bendungan Meninting dapat menimbulkan ancaman banjir bandang karena semakin berkurangnya wilayah resapan air akibat alih fungsi lahan dan hutan.

Bendungan yang dihajatkan untuk solusi dari masalah ekonomi, meningkatkan produksi pertanian, mampu mengatasi masalah kelistrikan dan juga PAD bagi pariwisata di Lobar. Namun menyisakan persoalan bagi masyarakat di lingkar Pembangunan Bendungan, terutama perempuan.

“Air tercemar dan berwarna coklat, air datang seminggu 1 -2 kali selama hampir 5 tahun, kekurangan air ini menyebabkan keringnya lahan pertanian dan kolam ikan sejak pembangunan Bendungan dimulai tahun 2019,” kata Nurul.

Trauma juga dialami masyarakat, sebelumnya tanggul proyek bendungan Meninting yang berada di DAS Meninting jebol pada Jumat 17 Juni 2022. Tanggul tersebut jebol karena hujan yang terjadi di kawasan gunung dan hutan yang terindikasi mulai rusak karena alih fungsi kawasan.

Ditambah, bendungan Meninting yang merupakan Proyek Strategi Nasional juga dibangun di atas lahan seluas 90 Ha di mana 4,95 Ha masuk ke dalam kawasan hutan (KemenPUPR, 2020).

Padahal menurut data hasil pantauan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hujan terbilang ringan hingga sedang dengan curah hujan berkisar 0-50 mm.

Baca juga : LSM Kasta NTB Gedor Polda, Minta Kasus Narkoba di Lombok Utara Diungkap Sampai Akarnya

Ini tidak jauh berbeda dengan data yang diungkapkan Badan Pusat Statistik (BPS) di mana bulan Juni hingga Oktober merupakan bulan-bulan dengan intensitas hujan terendah.
Sementara, curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada akhir tahun dengan curah hujan mencapai 345 mm.

Artinya, potensi terjadinya air bah yang lebih besar dapat terjadi di masa yang akan datang saat curah hujan mencapai titik tertingginya.

Dalam memori kolektif masyarakat di kawasan DAS meninting, banjir besar hanya pernah terjadi satu kali, yakni pada tahun 1985, dan terjadi lagi pada tahun 2015.

Setelah tahun 2015, frekuensi banjir menjadi lebih sering terjadi seiring dengan kerusakan kawasan hutan dan DAS Meninting.

Namun, setelah dimulainya proyek pembangunan bendungan banjir terjadi berturut-turut dengan intensitas yang lebih besar dan membahayakan masyarakat.

Atas situasi tersebut, Solidaritas Perempuan Mataram mendesak pemerintah untuk :

1. Melakukan upaya mitigasi bencana secara masif yang melibatkan seluruh kelompok rentan, terutama perempuan, untuk mengantisipasi bencana yang berpotensi terjadi pada intensitas hujan yang lebih tinggi pada akhir tahun.

2. Melakukan upaya pemulihan kawasan hutan dan DAS Meninting secara komprehensif dan mengembalikan fungsi kawasan agar masyarakat dapat terhindar dari bencana.

3. Meninjau ulang proyek bendungan Meninting yang dilaksanakan tanpa musyawarah, terutama bersama perempuan sebagai kelompok rentan, dan telah terbukti mengancam keberlangsungan hidup masyarakat, baik dari sisi ekonomi, budaya, dan politik. (Tim)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *