Kepala Bina Program Dinas LHK NTB saat meninjau lokasi kelompok Gapoktan Lestari Alam Bersahabat beberapa waktu lalu. Foto istimewa
MATARAM, SIARPOST | Salah satu upaya pokok pembangunan kehutanan yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam pembangunan kehutanan melalui perhutanan sosial, khususnya di dalam kawasan hutan berupa kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm).
HKm adalah hutan negara yang mana pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar agar terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Namun hal ini tidak berlaku bagi sejumlah masyarakat kelompok tani yang berada di empat desa di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, NTB. Hutan yang sejatinya harus dikelola oleh masyarakat, malah dipersulit oleh Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
BACA JUGA : Bawaslu Bima Proses Dugaan Kabag Umum Setda dan Sejumlah ASN Terlibat Politik Praktis
Saat diwawancarai di Mataram, Kamis (5/9/2024), ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Lestari Alam Bersahabat, Salahudin, mengatakan, bahwa masyarakat kelompok tani telah menggarap lahan di dengan luas sekitar 526 hektar di empat desa tersebut. Namun ketika masyarakat meminta izin usaha pemanfaatan, KPH mempersulitnya.
“Kami sudah bertahun-tahun menggarap, awalnya kami ajukan sekitar 720 hektare, tetapi diarahkan untuk merubah, dan sudah kami rubah dokumen peta wilayahnya menjadi 526 hektare dan hingga saat ini belum juga disetujui,” ujar Salahudin.
Atas dasar itu, Gapoktan mengajukan permohonan Izin usaha pemanfaatan hutan pemasyarakatan atau IUP-HKM sejak tahun 2019, namun hingga kini tidak diatensi baik oleh KPH dan Dinas LHK NTB.
Ia menganggap bahwa ini adalah program pemerintah untuk diberikan dan dimanfaatkan oleh masyarakat, yang mendukung pembangunan kehutanan adalah terwujudnya kelestarian hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, memperkuat ekonomi rakyat demi kesejahteraan.
BACA JUGA : Rusak Handphone Stafnya, Kades Jagaraga Lombok Barat Akhirnya Divonis dan Dieksekusi Penjara
“KPH tugasnya mengawasi dan memberikan rekomendasi dalam program pengelolaan hutan ini, mereka tidak berhak mengajukan, namun dalam prakteknya KPH yang mengajukan masyarakat di luar Gapoktan kami untuk menggarap lahan yang sudah kami garap, ini akan menjadi polemik di masyarakat,” ujarnya.
Salahudin juga mengatakan bahwa Kelompok-kelompok ini tidak pernah ditolak oleh kepala desa dan SK nya pun tidak dicabut. Artinya empat kepala desa sudah menyetujui adanya kelompok dalam Gapoktan tersebut.
Salahudin juga mengatakan bahwa pada tahun 2022 yang lalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB telah memberikan solusi atas polemik yang terjadi di masyarakat Lambu Bima, yakni membagi dua lahan dengan luas sekitar 720 hektare.
Namun solusi dari Kepala Dinas tidak diindahkan oleh Kepala KPH Maria Donggomassa yakni Ahyar, sehingga polemik terus terjadi.
Bahkan KPH meminta kelompok tani agar bergabung pada kelompok-kelompok program kemitraan yang mereka rekomendasi dan ajukan.
“Ini tanah milik masyarakat, dikelola untuk kesejahteraan masyarakat dan program ini sudah jelas dari pemerintah, tetapi kenapa KPH seolah menyulitkan kami,” ujar Salahudin.
Padahal, tambah Salahudin, kami sudah sangat prosedural dan tidak ada aturan yang dilanggar. Pihak KPH dan Dinas pun sudah turun lapangan untuk meninjau lokasi agar bisa ditindaklanjuti. Namun tidak ada tindakan sampai hari ini.
BACA JUGA : Kasus Meninggalnya Pengamen di Puskesmas Woha, DPRD NTB : Bupati Bima Harus Bertanggungjawab
Bahkan KPH sering melakukan semacam intimidasi dengan cara menarik iuran seperti biaya pengukuran Rp200 ribu per hektar, pembayaran SPPT Rp200 ribu per hektar.
“Kalo tidak membayar akan diusir, bahkan tanah tersebut akan ditahan bahkan akan menggantikan dengan petani yang lain, bahkan KPH merusak tanaman yang sudah ditanam dan pagar yang dibuat warga,” Kata Salahudin lagi.
Sementara, Kepala Dinas LHK NTB, Julmansyah yang dimintai keterangan mengatakan, bahwa harus ada kepastian lokasi agar tidak tumpang tindih, dan hal itu KPH yang lebih tau secara teknis nya.
“Masalah ini KPH yang lebih tau detailnya, karena masalah ini sudah pernah difasilitasi oleh Pokja Perhutanan Sosial NTB. Jadi prosesnya di KPH Maria Donggomassa,” Ujar Julmansyah.
Saat berita ini naik, Kepala KPH Maria Donggomassa sudah dihubungi dan memberikan keterangan resminya.(Feryal)